Telewicara sebelum Pulang Kampung [Cerpen]
“KAPAN PULANG, Nak?”
Suara dari balik gawai kembali terdengar, pertanyaan yang setiap hari selalu dilontarkan sampai aku hapal betul bentuk nada dan tiap helaan napasnya. Sebenarnya aku tidak bosan dengan itu, tetapi semakin dipertanyakan semakin aku merasa terbebani. Aku sangat ingin kembali pulang, tetapi pekerjaan di ibukota berhasil menyita banyak waktuku.
“Disegerakan, Pak,” jawabku cepat, jemariku sibuk menari-nari di atas papan ketik laptop. Semetara gawai kuletakkan di samping laptop dengan menghidupkan mode loudspeaker. “Laras juga penginnya pulang, Pak. Tapi, kerjaan di sini lumayan numpuk, Pak. Sabar, ya, Pak.”
Terdengar helaan napas yang panjang, lagi-lagi. Cukup membuatku patah hati yang terasa ditusuk-tusuk. Sejenak, aku berhenti menulis harian karena beberapa Minggu lalu telah mengabdikan diri selama dua bulan untuk mengikuti tantangan menulis yang diadakan komunitas one day one post. Untuk menulis membutuhkan mood yang baik, besok-besok aku tidak akan menulis di jam aku dan Bapak telfonan.
“Ya sudah, Nak, enggak apa-apa. Toh, kalau Bapak pulang kamu juga pasti bakal pulang kampung.”
Aku mengerutkan kening, tidak pernah Bapak mengatakan kalimat tersebut dalam percakapan berulang ini, itu pertama kalinya dan aku terganggu. “Bapak ngomong apa, lho?”
“Becanda, Laras. Biar kamu enggak tegang ngerjain tugasnya,” sahut Bapak lalu terkekeh.
“Ya, tetep aja, Pak, enggak lucu itu. Jangan begitu lagi, ya, Pak?” Aku meraih gawai, mematikan mode loudspeaker dan menempelkan pada telinga, sehingga suara napas sesak Bapak karena sakit jantungnya terdengar lebih dekat. “Pokoknya Bapak tenang aja, ya, Pak? Laras bakal segera pulang, bawain kue kering yang pakai tepung ararut kesukaan Bapak.”
Aku beranjak dari meja belajar setelah mematikan laptop dan meredupkan lampu belajar sehingga kamar tidurku menjadi gelap, hanya tersisa cahaya bulan dari luar jendela yang malu-malu masuk melalui balik tirai. Kurebahkan diri di atas ranjang, Di seberang sana, Bapak masih antusias berceloteh akan kedatanganku membawa kue kering kesukaannya nanti. Ah, andai esok, lusa, tulat, bahkan tubin aku bisa kembali, aku tersenyum masam.
“... intinya, mah, Laras-nya dulu yang pulang, kue kering pakai tepung ararut mah masalah belakangan. Laras sehat, toh, di sana?” tanya Bapak disusul suara batuk yang ditahan.
“Sehat, Pak, alhamdulillah. Bapak ini lagi enggak sehat, ya? Enggak kayak biasanya, Bapak ke rumah sakit aja, lho, kalo sesak lagi. Surya mana, Pak? Dia becus, ‘kan, ngurus Bapak?”
Salah satu hal yang membuatku semakin cemas adalah ketika meninggalkan Bapak dengan Surya. Anak baru gede itu terkadang masih meladeni egonya, sampai-sampai berbusa mulutku mengomelinya jika berbuat seenaknya. Sebetulnya, ada Mbak Gia yang merawat Bapak, tetapi saat ini Mbak Gia sedang berada di kampung suaminya sebab ada kabar duka.
“Walah, anak itu sekarang sudah gede. Namanya juga anak baru gede, kadang masih suka manutin egonya. Tapi, dia masih ngurusin Bapak, toh, dia lagi ngambil jambu biji dikasih sama Pak Bambang di rumah sebelah, bagus buat jantung."
Sedikit lega mendengarnya, setidaknya Bapak masih terawat dengan baik. Kulirik jam dinding yang sudah hampir pukul sepuluh malam. “Ya udah, Pak. Bapak enggak tidur? Bapak harus banyak istirahat, lho, Pak. Misal Bapak sesaknya makin parah, cepat ke rumah sakit, ya, Pak.”
“Iya, sebentar lagi. Nanti juga Bapak tidurnya bakal lama, toh,” ujar Bapak lagi-lagi melantur dan membuatku kesal.
“Bapak ini kenapa? Bapak itu bakal sehat, lho. Tunggu aja Laras pulang, ya, Pak. Kalau perlu, setelah pekerjaan Laras selesai, Laras bakal resign. Sehat-sehat, ya, Pak.”
“Iya, Nak, ya udah Bapak tutup telponnya, ya. Udah malam, besok kerja. Kamu di sana baik-baik, ya,” kata Bapak sambil terbatuk lagi. Sebelum aku berbicara, Bapak telah menutup sambungan. Bapak, kebiasaan mutusin sambungan tiba-tiba dan seperti biasanya, sebelum aku pergi tidur, kuketik pesan teks untuk Bapak.
Pak, minum air putih anget, ya. Paling enggak ke puskesmas dulu, Pak, biar enggak makin parah kambuhnya. Sehat-sehat, Pak, Laras bslum bisa pulang secepatnya. Tapi, Laras bakal usahakan untuk pulang kampung, ya, Pak.
Setelah pesan teks tersebut dikirim, aku pergi tidur dengan banyak doa dan harapan. Dalam mata yang terpejam, bendungan air mata tercipta sehingga airnya menitik keluar dari garis mata dan mengalir melalui pipi. Berpikir, bahwa diri ini tidak bisa memenuhi kebahagiaan Bapak yang sederhana, hanya ingin aku pulang. Tentang betapa patahnya hati mendengar suara sesak Bapak bahkan batuknya dari balik gawai. Sebelum benar-benar terlelap, aku kembali berharap, semoga esok ada keajaiban untukku pulang.
Aku terbangun seketika saat suara gawai begitu nyaring berbunyi. Dengan mata yang sedikit terbuka aku memandang jam dinding yang sudah hampir subuh. Kuraih gawai dan tertera nama Surya berada di sana. Aku menaikkan sebelah alisku, tumben sekali dia. Segera kutempelkan gawai di telingaku setelah menerima sambungan tersebut.
“Halo, Sur. Ken—“
“Mbak, Bapak meninggal serangan jantung,” sahut Surya dengan susah payah.
Sedetik kemudian aku mencoba mencerna tiap kalimat yang diutarakan. Aku terduduk dan mataku terbuka dengan sempurna, mungkin aku salah dengar karena baru bangun tidur, ‘kan?
“Ngomong apa sih, Sur?”
Namun, Surya di sana masih terisak dalam tangisnya dan kembali berusaha menjelaskan, sementara jantungku berdetak tidak karuan. Namun, air mata tanpa sadar mengalir begitu saja, pikiran dibawa melayang pada percakapan tadi malam. Semuanya, percakapan kemarin malam, kemarin lusa, kemarin tulat, kemarin tubin. Tentang Bapak yang selalu mendambakan kue kering pakai tepung ararut. Bapak yang selalu mendengar keluh kesahku betapa sulitnya menemukan ide untuk tantangan menulis dari komunitas one day one post. Bapak yang selalu menyabarkanku dari omelan berbusaku kepada Surya yang semalam berbaik hati mengambilkan jambu biji untuk Bapak.
“Bapak, udah enggak ada, Mbak.”
Semua itu terlalu mendadak, Pak. Terlalu cepat, Pak. Bukankah sudah Laras bilang untuk menunggu Laras pulang kampung, mengapa malah Bapak yang pulang kampung lebih dulu?
Huhu.. nangis keker smpe bikin pulau d bantal π kak vina tulisannya suka deep ditambah bikin cerpen tema gini. Kan makin makin :"
Heuheu, thank you, Kak Hilaa. π₯Ίπ€
I like it, kaaak. Hampir mewek rasanya.
Makasih, Kakkk. ✨
Bagus Vina.
Thank you, Kakk.
Bapak adalah laki2 pertama yg kita cintai. MasyaAllahu tabarakallahu cerpennya bukin terharu.
Makasih banyak, Kakkkk. ^^