Wisata Hidup

AKU PUNYA TIKET gratis untuk mengajak kalian berjalan-jalan di sebuah tempat yang bukan tempat wisata. Sejujurnya, tempat itu sering kita kunjungi setiap hari, mungkin dari pagi sampai malam. Dari Senin sampai Minggu akan selalu berpijak di tempat yang sama. Mungkin kita akan merasa bosan dengan perjalanan kita. Akan tetapi, kita tidak hanya akan sekadar berjalan. Dalam setiap tempat yang dipijaki, kadang-kadang kita lupa untuk mengamati dan mempelajari apa yang semestinya tidak dilewatkan. Tiket ini gratis karena pelajarannya juga gratis, tetapi menjadi amat berharga dan berarti karena tidak semua dari kita dapat menyadari dan memahaminya.

Tidak perlu membawa rupiah atau pun barang-barang yang biasa dibawa ketika berwjsata. Kita sedang tidak menuju ke objek wisata, masih ingat, ‘kan? Ah, jika diperlukan, jika ingatan tidak bagus seperti ingatanku, mungkin diperlukan kertas dan tinta untuk mencatat. Jika sudah, kita sudah siap untuk menjelajahi hidup. Hidup? Mengapa kehidupan harus dijelajahi? Ya, kehidupan itu menarik dan indah, bukan? Untuk saat ini, kita bukanlah penghuni kehidupan, anggaplah kita pengunjung. Setelah itu, silakanlah kembali sebagai penghuni.

Baiklah, mungkin hidup tidak selamanya menghadirkan kesenangan yang didambakan para penghuninya. Dalam beberapa situasi, entah jarang atau bahkan terlalu sering, kepatahan akan selalu mendedikasikan dirinya. Sementara, kita sebagai penghuninya sama sekali tidak mengharapkan kehadirannya. Namun, sebagai penghuni yang tidak selamanya akan menetap, bisa apa?

Mungkin dengan kebesaran hati, kehidupan telah memberi persinggahan untuk ditinggali. Menyediakan ruangan untuk beristirahat dan kembali pulang. Meskipun tidak selamanya, kita sebagai penghuni akan kembali ke tempat seharusnya. Pada kenyataan, masih banyak dari kita yang tidak tahu arah pulang dan tidak mau pulang.

Pun, dengan tubuhnya yang lebar, kehidupan telah memberikan para penghuni berbagai tempat untuk dikunjungi. Para penghuni pun bebas untuk pergi ke mana pun yang dia suka. Namun, tetap saja, dalam kebebasan itu akan selalu ada tempat yang menjadi kesukaan untuk sering dikunjungi. Ada pula tempat yang amat dihindai untuk tidak didatangi, melihatnya saja pun tidak.

Dari seluruh penghuni, terdapat pula karakteristik yang berbeda. Dari kita, ada yang memilih untuk meninggalkan tempat yang sudah tidak lagi nyaman karena hanya akan menyebar racun dalam diri. Lalu akan terjadi pergumulan batin bagi kita yang sudah tidak nyaman lagi dengan tempat kembali, tempat pulang. Ada yang rela membiarkan racun itu menyebar dalam dirinya hanya karena tidak ingin meninggalkan tempat yang dia sukai, tetapi tidak dengan tempatnya.

Para penghuni kehidupan memang lihai berperan, menjadikan dunia layaknya panggung yang menampilkan pentas teater. Sebagian dari penghuni, ada yang pulang dengan langkah cepat-cepat agar cepat merehatkan diri dari tempat di luar yang membuat punggungnya berat akam beban. Pun, ada yang menanggalkan kantung tangisnya di rumah, lalu pergi meninggalkan rumah dengan senyuman di bibir.

Di luar sana, sahutan tawa membahana, rona bahagia bertabur mengudara. Namun, di sisi lain, sahutan tengkar berteriak, situasi tegang menyebar di udara. Sementara, di belahan bumi lain, sahutan pilu memiriskan, aura kepedihan menguar bertebaran di udara. Lagi-lagi kehidupan amat berjiwa besar untuk membiarkan hamparan udaranya ditaburkan berbagai macam kumpulan-kumpulan sampai penuh.

Para penghuni kehidupan memang unik, meskipun akan mudah ditebak karena siklus hidup yang akan terus berputar. Siapa pun, yang berjalan dengan menebarkan kebahgiaan, tidak sedikit pula yang ketika sampai pada pulang kebahagiaan itu lenyap. Seakan-akan kebahagiaan itu tidak boleh dibawa kembali pulang. Siapa pun, yang berupaya berperang di dalam tempat tinggalnya, pada akhirnya dia akan menanggalkan segala senjata perangnya, tidak boleh dibawa keluar.

Para penghuni itu kadang-kadang ditemukan menjadi sekuat baja, tetapi akan meleleh juga dan menjadi lemah karena terus ditempa. Para penghuni itu, dipaksa menumpu beban-beban yang diberikan kehidupan. Entah bagaimana kaki-kaki mereka tetap lincah menapaki sudut-sudut kehidupan. Bibirnya tetap melebar, sementara hatinya meraung-raung ingin menyudahi sandiwara yang dilakukan.

Bukankah kita dapat mengetahui, bahwa para oenghuni memiliki bebannya sendiri. Bahwa mereka punya cara sendiri dalam menumpuk bebannya. Para penghuni itu, memiliki kesedihan sendiri yang bergelayut di hati mereka. Bukankah, kita sudah seharusnya menyadari bahwa kita juga seperti mereka? Mungkin terlihat baik-baik saja, sejatinya tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja. Manusiawi untuk sebentar menjadi lara. Terlalu sering bahagia juga amat tidak manusiawi. 

Mungkin, kita sebagai penghuni akan sulit untuk menyadari tentang apa tengah terjadi dengan kita. Namun, tidak dengan kita yang sewaktu-waktu menjadi pengunjung. Sekadar untuk menikmati, menyimak dengan seksama, memperhatikan dengan baik-baik, lalu mempelajari dari pengalaman-pengalaman yang terpantau oleh kita. Jika tidak ingin menjadi mengunjungi yang luar, kita hanya perlu duduk di depan cermin. Ya, kunjungi diri kita sendiri, untuk membuat kilas balik, lalu mempelajari pengalaman-pengalaman untuk dipelajari.

Bagaimana? Sejauh ini, apakah perjalanan kita menyenangkan? Apakah ada catatan yang sudah tertulis?


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url