Di Hari Keseratus [Cerpen]

 

HIDUP SEORANG DIRI di rumah satu petak bukan masalah, melainkan itu lebih baik daripada harus bergelut di tengah keramaian yang pada akhirnya akan diasingkan. Ruangan ini sesak, meskipun tidak satu pun benda memadati setiap sudut ruangan kecuali diri dan kehampaan. Satu-satunya tanda kehidupan hanyalah sorotan hiruk pikuk yang menerobos melalui jendela dengan tumpukan garis vertikal terpisah-pisah, menutupi muka jendela. Aku? Aku hanya tanda kehidupan yang pasif. 


Duduk memeluk lutut bersandar pada salah satu dinding berkulit dingin. Terdiam menusuk lantai dengan pandangan semu. Bibir kubiarkan terkatup, tidak perlu bicara—tidak ada siapa pun di sini bahkan apa pun. Mereka—semua pasang mata itu selalu melemparkan asumsi-asumsi bodoh ke dalam rumahku. Manusia-manusia itu tidak pernah mengerti apa-apa yang aku rasa.


"Jangan diam saja, hei, Perempuan!"


Lelaki menjengkelkan itu kembali berulah, lagi dan lagi setiap matahari menggantung di langit. Berdiri sedikit membungkukkan tubuh supaya wajah membosankan itu dapat menelisik dari balik ventilasi. Dua bola mata hitam pekat itu menyentuh mataku yang berusaha menghunuskan ketidaksukaan supaya dia cepat-cepat pergi. Namun, lelaki itu membalas dengan pandangan yang menurutku itu menjijikan. Selalu seperti itu, sok peduli. 


"Menyingkir dari sana!" 


Aku tahu itu takkan berhasil, sudah hampir sembilan puluh delapan kali, tiga kata itu menjadi kalimat pengusiran, tetapi selama itu pula dia tidak mempan. Lagi-lagi aku mendengkus, membuang muka, menatap lantai keramik di depanku yang memantulkan bayangan wajah dan bagian atas tubuh lelaki di balik ventilasi tersebut. Menanti-nanti, bayangan itu pergi dan tidak mendapati lelaki itu di sana. 


"Sembilan puluh delapan kali aku melihatmu. Dalam posisi yang sama dan pandangan yang pilu." Suara beratnya memasuki setiap sudut ruang, menempati ruang yang kosong, menembus telinga dan singgah di pikiranku. Kalimat itu selalu terlontar seperti biasanya, hanya ketentuan waktu yang membedakan. Aku pun tahu pasti, kalimat apa yang akan dia lanjutkan. "Apa kautidak jenuh, Perempuan? Mau sampai hari ke berapa? Jangan menjadi jahat atas dirimu sendiri."


Keningku berkerut. Aku memang tahu, dua pertanyaan itu akan jadi pertanyaan tetap tanpa jawaban. Namun, kalimat terakhir itu membuatku marah, berani-beraninya dia menghakimiku dengan pernyataan salah. Untuk pertama kalinya aku berdiri, bergerak cepat menuju jendela. Menghunuskan api kemarahan dari mataku. Lelaki itu tetap pada posisinya dan tidak berekspresi. 


"Kalian yang jahat! Aku berada di sini karena kalian semua jahat. Aku tidak akan pernah berada di sini jika kalian tidak jahat. Aku tidak jahat, kaupaham itu?"


Untuk pertama kalinya pula aku berteriak, kuharap kekosongan di ruangan ini tidak terkejut. Namun, darahku benar-benar naik dan memuncak hingga ubun-ubun. Dia benar-benar menghinaku kali ini. Aku tidak peduli lagi dengan bisik-bisik dan keramaian di belakang lelaki itu yang menjadikan kami pertunjukan dadakan. Manusia-manusia itu selalu seperti itu, keingintahuan yang terlalu bobrok. 


Lelaki itu menggeleng, perlahan tapi pasti sudut-sudut bibirnya berkedut lalu membentuk garis yang lebar. Apa itu? Aku pernah melihatnya, sembilan puluh delapan hari yang lalu. Saat itu manusia-manusia melebarkan bibirnya tanpaku. 


"Kaumarah karena apa yang kukatakan benar, 'kan?" tanyanya dengan intonasi menolak jawaban, entah mengapa aku tidak mengeluarkan satu patah kata pun. "Tolong pikirkan, tidak semua manusia-manusia jahat. Pikiranmu membentuk koloni jahat tentang manusia-manusia yang harusnya menyayangimu. Namun, kaubiarkan pikiran itu menciptakan racun yang akhirnya menyebar di seluruh tubuhmu."


Aku diam, yang dapat kulakukan hanya membalikkan badan, berjalan pelan hingga kembali bersandar pada dinding sebelumnya, merosotkan punggung hingga meraskaanyperasaan bokong menyentuh lantai, memanggil kaki untuk dipeluk.


Apa lagi yang harus kulakukan?


"Hei, Manusia. Kautidak menyayangi dirimu, kausakiti dirimu dengan pikiran yang kaurangkai sendiri. Sesuatu yang harus kautahu bahwa kejahatan harus dimusnahkan, apa pun itu."


Aku menunduk, menenggelamkan kepala ke dalam lutut kaki. Sayup-sayup suara ketukan sepatu beradu dengan tanah terdengar berlalu dan menjauh. Itu masih sama, artinya lelaki itu sudah pergi. Hari ini ada yang berbeda, dia meninggalkan yang tidak sama. Kali ini, seakan-akan ada mantra yang mengelilingi seisi ruangan, memantul dari satu tempat ke lainnya hingga menyentuh kepala dan menembusnya. Mantra itu memintaku bekerja untuk berpikir tentang apa-apa yang dapat membunuh kejahatan. 


Mungkin, aku tahu apa yang harus kulakukan, tetapi masih belum pasti. Apa aku harus menahannya untuk berada di sini besok?


Pikiran hari ini mulai membentuk tameng-tameng. Cuaca dingin menusuk-nusuk kulit yang sudah tidak terasa sakit lagi. Aku mendongak, menatap jendela yang masih dilalui segelintir manusia yang lewat. Sesekali pandangan kami bertemu, tetapi aku tidak lagi tidak acuh, aku mencoba menyapa dengan mengetuk pandangan sejenak mereka, meski tidak ada penerang karena malam sudah bertamu. Aku hanya memastikan perkataan lelaki itu benar, tentang manusia-manusia tidak semuanya jahat. 


Aku banyak bergelut dengan diri sendiri malam ini. Detik waktu berdetak beraturan, bergerak maju hingga cahaya matahari mulai mengintip dan akhirnya berani memunculkan diri sepenuhnya. Apa aku harus seperti matahari yang pemberani itu? Seperti matahari yang bergerak dari sudut satu ke sudut bumi lainnya? Menemui beragam manusia-manusia tanpa rasa takut? 


Mungkin lelaki itu benar, aku terlalu naif. Aku kembali menatap keluar jendela, memandangi satu per satu manusia yang lewat. Membalas pandangan mereka, meski tanpa ekspresi. Ini terasa baru buatku, manusia-manusia yang kutatap itu melakukan hal yang sama seperti lelaki kemarin, melebarkan bibir. Aku mencoba mengikutinya, tetapi tidak bisa. 


Sudah hari kesembilan puluh sembilan. Lelaki itu tidak kunjung datang, sementara matahari sudah menggantung tepat di atas. Sampai matahari bergerak turun dan pamit untuk pergi ke sudut bumi lain pun, lelaki itu tidak datang. Mengapa dia tidak datang? Ke mana dia pergi? Ini sudah malam, mengapa mata menjengkelkan itu tidak memenuhi ruanganku? 


Lagi, pikiran-pikiran jahat itu melancarkan aksinya. Namun, mantra yang kemarin masih tertanam di pikiranku. Lelaki itu seolah-olah berada di pikiranku, mengatakan untuk memusnahkan kejahatan. Apa maksudnya? Aku harus menunggu besok lagi. Aku terus memandangi keluar jendela seraya menyapa tatapan yang menatapku. Selama menunggu sampai matahari terbit, ada satu hal yang benar-benar membuatku sadar. 


Manusia-manusia itu, tidak buruk juga. Tidak sedikit dari mereka yang memberi garis lebar menyenangkan pada bibir mereka. Mengapa aku tidak menyapa mereka lebih dulu? Namun, ke mana lelaki itu, dia masih belum datang juga. Mungkin pada awalnya aku menutup diri karena merasa tidak dianggap ada. Mungkinkah—tidak, tetapi memang benar dari awal aku membuat asumsi bahwa orang lain begitu jahat karena tidak membersamaiku. Mengapa baru kusadari, akulah manusia egois dan jahat yang tega mengurung diri sendiri pada apa-apa yang tidak benar?


Ini sudah hari keseratus. Aku beranjak dari tempatku dan mendekati jendela. Entah keberanian dari mana aku memanggil satu per satu manusia hanya menanyakan keberadaan lelaki itu.  


"Di mana lelaki yang sering menemuiku?"


Namun, jawaban mereka sama-sama tidak tahu dengan menggelengkan kepala. Aku berpikir keras bagaimana cara supaya aku bisa bertemu dengan lelaki itu. Pandanganku yang masih menelisik keluar jendela, menemukan dua manusia yang tengah berpelukan erat, bercengkrama seakan-akan mereka telah lama tidak bertemu. Apa aku harus keluar?


Aku berbalik, memandang pintu kayu yang seratus hari selalu terkunci rapat-rapat. Gagang pintu itu telah berdebu, tidak pernah digenggam. Dengan cepat langkahku bergerak menemui pintu. Kuraih gagang pintu dan menekan ke bawah. Suara pintu berdecit dengan lantai membuat ngilu, perlahan-lahan segaris cahaya mulai memenuhi ruangan ini. Semakin kutarik, semakin lebar pula garis cahaya itu. Namun, garis cahaya itu memantulkan siluet manusia yang tinggi ketika pintu sudah terbuka sepenuhnya. 


Ads dia. Lelaki itu ada di sana. Berdiri entah sejak kapan. Angin sepoi-sepoi menerobos masuk, menggantikan sesak menjadi sejuk. Sama seperti kedatangan lelaki itu, rasa sesak dan lega menghambur memelukku. Aku berdiri di depannya dan memandangnya menunggu dia bicara. 


"Aku di depan pintu sejak kemarin, kupikir mantraku akan bekerja di hari kesembilan puluh sembilan. Namun, aku tetap menunggumu, mungkin butuh waktu lama. Tidak disangka, perempuan ini membuka pintu tepat di hari keseratus."


Baru kali ini aku melihat lelaki ini secara utuh. Dia tinggi, aku tidak tahu berapa, yang pasti aku hanya setinggi pundak tegapnya. Wajah yang sering kulihat itu kini menunduk menatapku, dia melayangkan pandangan lega. Bibir tipis itu membuat garis lebih lebar dari kemarin. 


"Ajari aku untuk membunuh pikiran jahatku dan ... ajari aku untuk kembali tersenyum."



Next Post Previous Post
8 Comments
  • Hilaschou
    Hilaschou 25 Juni 2022 pukul 23.16

    Penggambaran tempat, alur dan karakter utama sangat jelas, sampai bisa terbayangkan di setiap paragrafnya <3

    • sudut pandang vina
      sudut pandang vina 26 Juni 2022 pukul 01.10

      Waahh alhamdulilah kalo gitu heuheu. Makasih banyak, Kak Hilaa!

  • Abah Abahski
    Abah Abahski 26 Juni 2022 pukul 12.49

    Keren banget cerpennya minder ngebandiginnya dan kukira tokoh utamanya laki-laki :|

    • sudut pandang vina
      sudut pandang vina 26 Juni 2022 pukul 18.05

      Ya jan dibandingin, dong. Hm, keknya aku kurang jelas menggambarkan karakter utamanya, ya, wkwkwk.

  • tasyafiane
    tasyafiane 26 Juni 2022 pukul 17.53

    Oh, kuharap pemeran utamanya bisa segera membunuh pikiran buruknya sendiri, dan bisa tersenyum lebih ikhlas pada akhirnya.

    • sudut pandang vina
      sudut pandang vina 26 Juni 2022 pukul 18.05

      Udah aman dia, Kak, wkwk.

  • siti nurhayati
    siti nurhayati 26 Juni 2022 pukul 22.05

    Sepertinya sang tokoh utama sedang dalam keterpurukan, ya?
    Semoga segera bangkit dan dapat tersenyum kembali, ya..

    • sudut pandang vina
      sudut pandang vina 26 Juni 2022 pukul 22.23

      Dia lagi belajar buat bangkit, xixi.

Add Comment
comment url