URNA: Warna Duka [1]
BAYANGAN HITAM itu hadir lagi, membungkus tubuh gemuk seorang wanita tua. Asap-asap berwarna kelabu gelap mulai menyebar dan menutupi cahaya kekuningan yang dimiliki nenek itu. Aku terpaku di tempat memikirkan tentang apa yang akan terjadi nanti. Rasanya itu tidak mungkin—maksudku, meski dia lansia, tetapi nenek itu tampak baik-baik saja.
Dari balik jendela aku mengarahkan pandangan ke langit, barangkali sore ini tengah menyembunyikan cahaya matahari digantikan dengan awan mendung, memastikan apakah warna gelap itu berasal dari langit yang mendung? Akan tetapi, warna itu masih menari-nari di sana. Semakin kucoba menyipitkan mata warna gelap itu semakin jelas.
Aku beranjak dari meja belajar dan cepat-cepat keluar kemar menuju teras yang untungnya kamarku berada ri lantai satu dan tidak jauh dari halaman depan rumah. Semakin mendekati sang nenek, warna gelap itu semakin jelas dan begitu nyata saat kuhampiri dan berdiri di hadapan nenek.
"Ah, cucuku yang cantik. Apa kabar, Nak? Kacamata hitamnya enggak dipakai?"
Aku diam saja, memandangi warna gelap yang masih bergerilya di sana. Itu tidak hilang, memastikan bukan efek dari perasaan nenek yang sedang menatapku dengan ekspresi senang. Namun, warna itu tidak mendefinisikan perasaan nenek, ia menyebar mwnutupi warna asli yang dimiliki nenek.
"Nenek sakit? Kita ke rumah sakit, ya, Nek."
Aku panik, warna itu tidak boleh menodaj warna kuning cantik yang dimiliki Nenek. Kucoba meraih tangan Nenek dan menggenggamnya, berharap dia mau mengikuti saranku. Namun, tanganku segera ditepis oleh perempuan di samping Nenek. Perempuan itu menatapku kesal.
"Jangan lagi, ya, Urna," tukasnya, wajah cantik memerah. "Ibu saya baru pulang dari rumah sakit dan Ibu sehat. Jadi, kamu menjauh dari saya dan Ibu!"
Perempuan memasuki kepala empat itu istrinya Pak Dokter. Meski sudah menduduki usia empat puluh satu, Ibu Nada sama sekali tidak menampakkan kerutan yang menua. Ibu Nada semakin terlihat cantik dan sehat. Namun, aku tidak bisa menyaksikan kecantikannya jika Ibu Nada berhadapan denganku. Ibu Nada tidak menyukaiku, tidak menyukai keberadaanku di rumahnya.
"Nenek harus balik ke rumah sakit lagi, Bu!" seruku seraya meraih tangan keriput nenek yang kembali ditepis Ibu Nada. "Bu, aku melihat warna—"
Sebelum aku melanjutkan perkataan, Ibu Nada sudah lebih dulu melayangkan tangan dan mendaratkannya di pipi kananku. Selanjutnya, aku mendengarkan suara nenek yang terkejut dan memarahi Ibu Nada.
"Nada, apa-apaan kamu? Kok jahat begitu sama Cucu Ibu?"
"Dia bukan anak aku, Ibu. Dia bukan Cucu Ibu. Dia ini anak pembawa sial."
Aku berbalik dan menjauhi nenek dan Ibu Nada. Memasuki rumah dan bergerak cepat menuju kamar tidur yang tidak jauh dari ruang tamu. Tidak mengindahkan panggilan nenek dari teras. Seharusnya aku tidak pergi, seharusnya aku tetap membujuk nenek untuk kembali ke rumah sakit. Namun, Ibu Nada benar, aku anak pembawa sial.
Aku duduk di meja belajar yang terletak di balik jendela, aku mengintip sedikit memastikan apakah nenek dan Ibu Nada masih berada di sana, mereka sudah tidak ada di sana. Hanya tersisa asap gelap yang tertinggal. Kututup kembali tirai, berharap warna itu hanyalah reaksi wajar dari apa yang dirasakan seseorang.
Ya, aku berharap itu tidak terjadi. Meskipun mustahil. Selama dua belas tahun, menjadi orang istimewa bukanlah hal mudah. Pada awalnya mungkin terasa menguntungkan, tetapi siapa yang tahan melihat warna kematian yang melingkupi tubuh seseorang? Siapa yang merasa diuntungkan dengan diperlihatkan dengan warna hitam yang menutupi warna asli dari orang-orang terdekatmu?
Anak pembawa sial? Aku terkekeh, mungkin memang ada benarnya penyataan Ibu Nada yang selalu dilontarkan kepadaku. Harusnya aku sudah terbiasa karena seringkali menjadi pengingat yang tidak ingin kuingat, tetapi ketika diucapkan, akan membuat luka di dalam hati. Jika diucapkan lagi, lukanya akan semakin dalam. Entahlah, sudah seberapa dalam satu luka itu.j
Kulirik kacamata hitam di atas meja, kacanata yang diberikan Pak Dokter dua tahun lalu. Sejak usia delapan tahun, Pak Dokter memberikan kacamata hitam baru. Itu membuatku lega, setidaknya aku dapat menghindari warna duka. Namun, selalu saja warna duka itu tertangkap ketika kacamata itu tidak terbingkai di wajahku, seperti saat ini.
Kuraih kacanata hitam itu dan memakainya. Bersamaan dengan itu, suara ketukan pintu terdengar. Tanpa menoleh aku sudah tahu siapa dia. Ketukan sebanyak enam kali dalam jeda dua detik di ketukan kedua, hanya milik Ragi. Ragi. Dia anak tunggal Pak Dokter dan Ibu Nada, selain Pak Dokter, Ragi merupakan orang lain di rumah ini yang dapat menerimaku dan memahami tentang entah keistimewaan atau malapefaka yang kumiliki. Ragi, lelaki yang kini duduk di kursi di sampingku, dia selalu mengatakan bahwa itu adalah keajaiban.
"Udah ketemu sama Nenek?" tanya Ragi seraya mengutak-atik kamera yang dia genggam. Di layar kecil itu menampakkan beberapa foto nenek yang tersenyum dan tertawa di sana.
Melihat itu, membuat dadaku sesak. Aku ingat betul, ketika pertama kali Pak Dokter membawaku ke rumah ini. Nenek satu-satunya orang yang menyambutku dengan ramah, dia tidak malu-malu untuk menyunggingkan senyumannya. Saat itu pula, pertama kalinya aku melihat warna kuning cerah nenek dan warna merah jambu menyatu dengan indah. Dia berhambur memeluk dan mengusap rambutku. Dia bilang, sudah lama menantikan cucu perempuan, sementara semua cucunya berjenis kelamin lelaki. Salah satunya adalah Ibu Nada yang memiliki Ragi.
"Nenek ... sehat?" Aku balik bertanya dan memastikan, mencoba menemukan jawaban yang setidaknya dapat menghibur.
Ragi beralih memandangi wajahku beberapa detik lalu mengerutkan kening. Lalu dia mengangguk. "Sehat. Kalau belum sehat, Nenek enggak mungkin dibolehin pulang dari rumah sakit sama dokter, 'kan?"
Aku mengangguk. Ya, kuharap Nenek baik-baik saja. Kuharap yang kulihat tadi hanyalah ilusi. Kuharap dan selalu berharap nenek dapat hidup lebih lama di sekitarku. Aku hanya tidak tahu, bagaimana cara merelaksn kepergian orang sebaik nenek, nenek yang menyayangiku. Kehadirannya menjadi satu-satunya kasih yang membuatkan merasakan seperti seorang anak dan nenek seperti ibu.
"Kenapa? Ada masalah?"
Ragi selalu tahu apa yang kurasakan, selalu memahami apa yang menjadi pahamku. Mengatakan tidak apa-apa ketika aku berbohong padanya, adalah sebuah hal yang sia-sia. Maka kulepaskan kacamata dan menatap Ragi. Warna biru muda yang membungkus tubuh jangkungnya, entah mengapa menjadi warna biru muda yang membuatku nyaman berada di dekatnya.
"Pas ketemu Nenek tadi di teras aku lupa pakai kacamata hitam, Gi."
Kami bersitatap tanpa kata, seakan-akan sebuah pemahaman telah kami utarakan dalam pikiran-pikiran berfrekuensi. Dia mengangguk kecil tanpa ekspresi lalu bersandar di punggung kursi.
"Maaf," ucapku menyesal dan menunduk dalam. "Seharusnya gue enggak melihat itu."
"Berapa kali gue bilang, itu bukan salah lo, Na. Itu cuma masalah takdir. Takdir yang enggak bisa dihindari."
Rasa sesak yang memenuhi ruang dadaku kini menumpuk hingga tenggorokan tercekat. Air yang sejak tadi membendung di pelupuk mata, satu per satu mulai membentuk garis sungai yang mendarat di pipi. Kututup wajah dengan kedua telapak tanganku seraya menunduk.
Bagaimana kalau nenek benar-benar pergi? Ke mana aku harus menerima sosok figur ibu yang begitu baik?
"Na," panggil Ragi. Sebuah tepukan pelan di pundakku. "Oke, begini. Warna apa yang lo lihat? Seenggaknya kita tahu masih ada waktu berapa lama untuk kita sama Nenek, 'kan?"
"Gelap warnanya, besok mungkin akan berubah menjadi hitam pekat." Aku berusaha menjelaskan di tengah-tengah rasa sesak yang masih bersarang. Setidaknya cara kerja perubahan warna gelap ke hitam akan selalu sama, warna hitam akan menbuat gradasi yang pekat dan saat itu juga—aku tidak akan melanjutkannya dan jangan suruh aku melanjutkannya.
•••
"Dibuka aja kacamatanya, Nak, enggak apa-apa."
Aku menggeleng pelan, sudah dua kali nenek meminta hal itu. Siapa yang betah berada di dekat warna gelap yang masih bergerak-gerak menutupi warna nenek. Setelah berbicara dengan Ragi dan memilih untuk menemui nenek di kamarnya. Tentunya, setelah Ragi meminta pada Ibu Nada untuk membiarkanku dan nenek berbicara berdua. Soal itu, nanti aku akan berterima kasih pada Ragi.
"Nenek ini udah tua, Nak. Mau sakit atau sehat, apa pun bisa terjadi. Kalau wayahnya pulang, ya, pulang." Nenek menjelaskan seraya tertawa kecil. Seakan-akan segalanya sudah dipersiapkan untuk dihadapi. Nenek meraih paper bag di nakas samping kasurnya. Diulurkannya paper bag pink tersebut ke arahku. "Nah, ini Nenek jahit syal untuk kamu. Nenek bikinnya selama di rumah sakit. Untungnya, udah selesai kemarin, jadi masih ada waktu kasih ini buat kamu."
Aku menerima paper bag tersebut dan mengambil syal berwarna dusty pink, warna kesukaanku. Aku tersenyum tipis. "Terima kasih, Nek. Nenek terlalu banyak ngasih aku ini itu, tapi aku belum bisa kasih banyak ke Nenek.*
"Tahu enggak, hadiah yang paling Nenek suka dari kamu apa?"
Aku mendongak dan menemukan wajah nenek yang bahagia. Nenek bahkan tidak terlihat sakit sama sekali. Dari balik kacamata hitamku, aku hanya berani menatap wajah nenek yang masih pucat. Sementara, asap-asap itua masih bergerak meledek. Tidak, aku tidak mau tahu lagi warna apa itu. Biarkan kacamata ini memantulkan warna gelap dari tangkapan mataku.
"Apa, Nek?"
"Kehadiran kamu dalam hidup Nenek, bahkan sampai saat Nenek pulang nanti," kata Nenek. Tangannya yang berisi mengaambil jemariku dan mengelusnya. Persis seperti yang dilakukan Pak Dokter waktu itu. "Jika sesuatu terjadi sama Nenek. Jangan salahkan diri kamu, ya?"
Aku hanya diam tidak membuat reaksi apa pun. Untuk itu mungkin akan sulit, untuk merelakan juga apalagi. Sama-sama bukan hal mudah untuk dilalui. Aku kembali menatap tangan nenek dan syal yang berada di sebelahnya, mungkinkah ini hal terakhirnya? Keheningan terjadi sampai suara potretan dari kamera terdengar. Kini, Ragi berada di sampingku dengan wajah tertutupi kamera yang mengarah pada aku dan Nenek.
"Saatnya kita mengabadikan momen!" seru Ragi. "Na, senyum, Na, jangan mau kalah sama Nenek-Nenek yang senyumannya udah selebar bumi!"
Nenek menarikku hingga berada di dekatnya, selanjutnya tangannya merangkul dan mengarah pada kamera. Mau tidak mau, aku mengikuti arah pandang nenek dan mengikuti senyuman lebar Nenek yang kata Ragi selebar bumi.
•••
Wuhuhu~ pada hal ini dapat melihat "warna" jadi tekanan tersendiri ya. Sedih bgt rasanya kalau kita tahu apa yg bakal terjadi pd org tercinta, tp gbisa lakuin apa2.
Semoga kedepannya Urna tidak menyalahkan diri sendiri atas takdir orang lain.
Urna masih belum punya pikiran untuk enggak menyalahkian dirinya ssndiri, belum ada triggered yang jadi titik baliknyaa.