Catatan Si Gemuk

AKU TINGGAL di dalam lapisan daging yang super tebal, aliran lemaknya saling berkaitan dari satu pias hingga pias lainnya. Kadang-kadang aku merasa tidak percaya untuk unjuk diri. Daging-daging dengan aliran lemak ini, membuatku seperti si buruk rupa. Namun, dalam beberapa waktu aku sudah semakin tebal seperti tempat tinggalku ini. Bahwa aku tidak peduli dengan tutur-tutur yang mencoreng tempatku tinggal. Meskipun, ada kalanya salah satu ruang di tempat tinggalku akan jatuh sakit jika terus menerima tutur tersebut.

Aku tahu, ini salahku. Seharusnya aku tidak terus-menerus mempersilakan para tamu masuk melalui tabir bibir. Aku paham, semestinya aku dapat mengendalikan kesukaanku terhadap para tamu yang menggugah ruang seleraku. Apa pula aku harus menghilangkan minatku terhadap segala bentuk tamu yang menjajakan diri, bersolek menarik perhatian dengan kelihaian masing-masing? Apa harus?

Aku diam merenung, bibirku tengah menyantap tamu yang tengah duduk manis di lidahku. Aku selalu berpikir, apa aku ditakdirkan untuk singgah di tempat tinggal dengan daging tebal yang dilapisi xampuran lemak? Bibirku semakin terkatup, mengecap kemanisan yang terdorong melalui koridor kerongkongan sampai akhirnya jatuh di ruang lambung. Apakah ini adalah perjalan rasa manis yang terakhir bagiku?

Aku benar-benar dilematik ketika dua sosok berdiri tegak di hadapanku. Tentang kenyamanan dan ketidaknyamanan. Tentang keinginan dan ketidakinginan. Tentang harapan yang harus dimulai atau dipupuk. Dua hal yang menjadi pikirku serumit tali yang diikat mati. Sejujurnya, aku sudah lama menyadari kehadiran dua sosok itu. Namun, aku lebih sering menjumpai sosok yang menurut terhadap pikirku yang tidak-tidak. Sementara, dalam beberapa waktu di kala aku merasa jenuh dan lelah akan tempat tinggalku dan penghuni lainnya dengan tempat tinggal yang ramping, aku akan menunduk dan bersandar pada sosok yang memintaku untuk jangan menuruti mauku yang tidak-tidak.

Para penghuni dengan tempat tinggal yang berdaging tipis tanpa lemak yang padat itu memang menyebalkan. Sorot matanya meremehkan tempat tinggalku, tuturnya mencorengkan tempat tinggalku. Setidaknya, hal itu membuatku takut untuk menjadi seperti mereka kalau-kalau tempat tinggalku berubah menjadi ramping. Namun, yang paling menyebalkan adalah ruang pikirku yang mudah terpengaruh dan menjadi lebih sering beraktivitas sehingga membuatku merasa tidak percaya dengan tempat tinggalku sendiri.

Sesebal-sebalnya mereka, aku lebih sebal dengan diriku sendiri. Hampir setiap hari aku mendapati ruang hati mengutuki diri, sibuk meminta untuk segera menipiskan daging dan lemak yang menutupi tempat tinggal ini. Beberapa ruangan sepertinya membutuhkan jendela yang lebih tipis, katanya tempat ini terlalu gerah dan sumpek untuk ditempatkan. Pada saat para tamu hadir bagaikan parade yang berjalan di seluruh ruangan tempat tinggalku, tidak sedikit dari mereka yang mengeluh. Seakan-akan tubuh mereka mendadak setipis kertas karena harus berimpit-impitan dengan para tamu.

Aku mendongak dan menatap dua sosok di hadapanku ini. Kutarik mereka untuk duduk di sampingku, aku tahu tenpat tinggalku memakan banyak ruang, tetapi setidaknya dua sosok itu masih bisa berbagi ruang duduk denganku. Kami sama-sama menatap tempat tinggal yang berjalan ke sana kemari. Bentuknya pun berbeda-beda, ada yang ramping, ada yang sedikit mendekati besar, dan sebesar aku. Jika biasanya aku akan bersandar pada salah satu sosok, kali ini aku mencoba menjadi sandaran bagi kedua sosok itu. Mendengarkan apa-apa yang dikatakan kedua sosok itu. Sosok di kiriku berkata tidak apa-apa, semua tempat tinggal itu cantik dengan bentuknya masing-masing, dia hilang aku hanya mencintai diri sendiri. Sementara, sosok di kananku berkata untuk mendengarkan ruangan-ruangan di tempat tinggalku yang membutuhkan tempat tinggal sehat, dia bilang bahwa mencintai diri sendiri tidak melulu menerima bentuk diri melainkan menyehatkan diri.

 Apa aku bisa, ya, merangkai takdir seperti para penghuni dengan tempat tinggal yang lebih sempit?


Next Post Previous Post
2 Comments
  • Hilaschou
    Hilaschou 25 Juli 2022 pukul 15.12

    Seperti menonton dilematika yang terjadi jauh di dalam sana. Tokoh yg digunakan sebagai perumpamaan baik aku maupun kedua sosok itu bisa bikin pembaca jadi makin paham dan masuk ke dalam untaian kata.
    Konflik dalam diri memang selalu terjadi ya, selain menerima diri sendiri, mencintai diri sendiri juga termasuk kedalamnya untuk menjaga diri sendiri. Jika sudah sehat dan percaya diri. Gak papa jangan dengarkan buah kata org yg merecoki.
    Semangat<3

    • sudut pandang vina
      sudut pandang vina 27 Juli 2022 pukul 08.44

      Betul, Kak. Konflik batin udah kayak perang dunia wkwkkw kadang susah buat ngelawannya soalnya suka nyerang di waktu-waktu yang tidak terdugaa.

Add Comment
comment url