Naik Kereta Api

TUBUHKU yang kaku digerakkan ke kanan dan kiri kuat-kuat. Sementara, kakiku melekat kuat pada lantai semen yang kotor akibat orang-orang yang datang silih berganti. Menanti-nanti seraya membuka telinga lebar-lebar, barangkali deretan nama lengkapku dipanggil. Sudah beberapa hari ini, aku selalu terpaku di tempat yang sama tanpa hawa nafsu. Ingin merasa lelah karena tidak pernah mendapati untuk duduk sejenak. Jangankan mendaratkan tulang ekor, bergerak dari tempatku berdiri pun tidak mampu.

Sampai saat ini, sejujurnya aku masih belum memahami cara kerja stasiun kereta ini. Aku hanya ingat, tiba-tiba dibawa oleh dua sosok ke depan stasiun dan menyuruhku menemukan titik dengan namaku di lantai yang saat ini kuinjak. Aku menunduk sebentar untuk memastikan, apakah namaku masih tertera di sana. Kurasa itu sudah semakin samar saja. Jika semakin lama aku berada di sini, nama itu akan hilang. Kulirik lantai semen di sekitarku, orang-orang itu juga menginjak nama-nama mereka di bawahnya. Ada yang masih amat jelas tintanya, ada yang mulai memudar, ada yang sudah samar, bahkan hampir menghilang.

“Nona Jeane Caronline!”

Seorang wanita yang cukup tua, mungkin sudah memasuki kepala enam? Entahlah, tetapi wajahnya tampak lega. Sorot matanya kini berbinar-binar. Wanita itu yang namanya hampir menghilang tadi dan saat kulihat lagi, nama Jeane Caroline sudah lenyap seperti tidak pernah ada. Bahkan, selang beberapa lama sebuah nama perlahan-lahan mulai terukir di sana. Tidak lama kemudian, seorang lelaki muda menginjaki nama itu dengan wajah kebingungan. Seperti yang kualami beberapa waktu lalu.

Setelah melihat wanita itu meninggalkan kerumunan dengan mulus, tanpa susah payah sebelum akhirnya menemui sosok—dia mirip dua sosok yang membawaku ke sini—di pintu kereta. Sebelum wanita itu benar-benar menjadi penumpang di kereta berwarna putih tersebut, dia berbalik dan melambaikan tangannya.

“Bersabarlah wahai diri, pada akhirnya kita akan menumpangi kereta putih!”

Pintu kereta ditutup, ternyata wanita itu penumpang terakhir dari kereta tersebut. Dari balik jendela kaca, kulihat wajah-wajah ceria terpancar dari orang-orang di dalam sana. Senyumannya terkembang, matanya menatap lurus ke depan. Sampai kereta akhirnya bergerak melaju dan meninggalkan penantian yang baru bagi para calon penumpang, termasuk aku.

Aku mencoba bersabar kembali, setidaknya hal itu sudah terulang tiga kali. Aku sendiri belum tahu, harus ke mana dan tempat apa yang mesti dituju. Namun, ada sebuah tekad dan keinginan kuat untuk segera dipanggil dan menaiki kereta. Setidaknya aku harus menanggalkan gelar calon yang kugenggam.

“Sebentar lagi ada kereta datang!”

Aku celingak-celinguk mendengar sahutan seorang lelaki dari ujung. Tidak lama suara alarm kereta terdengar nyaring, tetapi kali amat nyaring sampai menyakiti gendang telinga. Sampai-sampai aku harus menutup telinga kuat-kuat. Mengapa bunyinya jelek dan cempreng sekali? Kereta sebelumnya memiliki suara yang lebih lembut dan mendayu-dayu. Aku menatap kereta yang wajahnya mulai melewatiku dan maju beberapa meter sampai badannya berhenti di depan sana. Kereta ini aneh, warnanya hitam pekat dan bau gosong. Jendelanya buram, tetapi masih menampakkan keadaan di dalamnya yang super gelap. Berbeda sekali dengan kereta putih sebelumnya.

“Bersiap-siaplah, hampir dari kalian semua akan menumpangi kereta ini!”

Kali ini tubuhku dibuat terimpit ke belakang, sebenarnya aku merasa tidak enak dengan orang di belakangku. Namun, orang-orang di depanku ini secara mendadak memundurkan tubuh mereka dengan wajah yang pucat pasi. Tentu saja itu percuma, nyatanya kaki-kaki itu pun tidak bisa lepas dari tempat sampai nama-nama itu terpanggil.

“Tenanglah! Jangan risau, setiap kursi sudah tertulis nama kalian. Jadi, tidak ada yang perlu susah payah berdiri selama perjalanan yang super panjang.”

Suara di sekitar semakin berisik, berteriak-teriak untuk tidak usah dipanggil namanya. Aku tidak mengerti, mengapa? Aku yakin, mereka pasti sudah menunggu terlalu lama. Bahkan, kini mereka mengadu sudi untuk bertahan lebih lama lagi. Maksudku, mengapa tidak untuk bersyukur saja? Ya, memang tempatnya tidak sebaik kereta sebelumnya. Namun, selama sampai tujuan tidak masalah, bukan? Aku sendiri punya harapan tinggi untuk dipanggil namanya. Dengan kereta sebesar dan sepanjang itu, kurasa namaku berpeluang untuk menduduki salah satu kursi di dalamnya.

“Tuan Kim Jong Sun!”

Laki-laki bertubuh kurus dan tampaknya dia masih berkepala empat, dia seperti cacing kepanasan yang menggeliat di tempat. Ketika dia akan bergerak mundur, tiba-tiba dua sosok lain keluar dari pintu kereta dan membawa tubuh pria itu dengan mudahnya masuk ke dalam kereta tersebut. Aku jadi penasaran, seburuk apa kereta ino sampai orang-orang ini menggeliat tidak tenang.

“Nona Michaela!”

“Tuan Herlambang!”

“Nona Dun Ming!”

“Tuan Artyom!”

Setiap nama dipanggil, reaksi dari pemilik nama tersebut akan sama. Bahkan masing-masing dari nama akan mengeluarkan dua sosok dari balik pintu kereta yang membawa paksa mereka ke dalam kereta lalu didudukkan. Sampai akhirnya seorang lelaki tua dengan wajah keriputnya yang sendu dan terlihat pasrah, dia dipanggil.

“Tuan Syaiful!”

Meski tubuhnya ringkih, dia mampu menegakkan bahu hingga kokoh seakan-akan tidak mudah tumbang. Namun, aku melihat betul bahwa tangannya bergetar, sekujur tubuhnya diselimuti air-air keringat. Kakinya dengan mantap melangkah menuju sosok yang memanggilnya. Tidak ada dua sosok lain yang akan membopong tubuh ringkih itu. Aku yakin, dua sosok itu akan dengan mudah mengangkat lelaki itu. Sebelum benar-benar menjadi penumpang di dalam kereta tersebut, dia berbalik dan wajahnya dengan sedih mengungkapkan sebuah kalimat.

“Kalian, para calon penumpang kereta abu-abu, gunakan kesempatan untum menjadi manusia paling baik. Pastikan nama kalian menyimpan kursi di kereta putih untuk kalian duduk.”

Aku terdiam, mematung di tempat. Mencerna baik-baik setiap kalimat yang terlontar. Pintu kereta tertutup dan menenggelamkan lelaki itu ke dalam kereta. Aku hampir-hampir memekik ketika kereta itu melaju dengan kecepatan secepat kilat, sekilas dari balik jendela yang buram mereka berteriak, mata para penumpang itu terbelalak ke arah kami mengeluarkan air mata yang berdarah. Dalam satu detik, aku menghela napas paling lega karena tidak menjadi salah satu di antara mereka. Aku mesti bersyukur akan hal itu.

Tidak butuh waktu lama, sebuah kereta berwarna abu-abu tiba-tiba mendarat di depan sana tanpa memberi suara apa pun. Pintu terbuka dan sosok keluar dari sana.

“Kurasa kalian sudah memahami dua kereta dengan warna yang berbeda sebelumnya. Kali ini, saatnya kalian semua yang tersisa di sini akan menjadi penumpang di keretaku. Kuharap kalian merenungi diri kalian, ini adalah kesempatan kalian untuk memantaskan diri menjadi penumpang kereta putih atau kereta hitam.”

Kami semua saling beradu pandang. Kereta abu-abu itu kecil dan pendek. Aku dan orang-orang yang tersisa di sini pun tidak banyak. Sebagian besar dari kami sudah terkikis akibat menghuni kereta hitam tadi. Kulirik namaku di bawah, sudah hilang. Bahkan, aku terkejut, aku sudah bisa mengangkat kakiku.

“Tidak perlu Kupanggil nama kalian. Silakan para nona-nona untuk masuk terlebih dulu baru disusul para tuan-tuan.”

Aku dan beberapa perempuan lainnya, beranjak meninggalkan tempat. Membentuk satu barisan panjang ke belakang. Ketika giliranku menjejaki di lantai kereta. Kulongokkan kepala ke dalam, seperti kereta pada biasanya. Memang, tudah kereta putih, tetapi itu lebih baik daripada harus menaiki kereta hitam. Cepat-cepat aku masuk dan langsung menemukan namaku di kursi paling belakang dan dekat jendela. Aku duduk di sana dengan tenang. Setelah tempat penantian kereta sudah kosong dan tempat duduk sudah terisi penuh. Pintu kereta ditutup dan berjalan membawa kami sebagai penumpang pergi dengan tujuan untuk menjadi penumpang kereta putih atau bahkan hitam.


Next Post Previous Post
2 Comments
  • Reza Liswara
    Reza Liswara 26 Juli 2022 pukul 13.20

    Hmm penasaran apa yang membedakan warna pada kereta itu. Apa ada syarat-syaratnya kah? Tolong jangan buatku penasaran -_-

    • sudut pandang vina
      sudut pandang vina 26 Juli 2022 pukul 22.53

      Hmm, intinya semacam kita nunggu di padang mahsyar, terus kereta hitam ibarat neraka, putih ibarat surga. Kereta abu-abu ini aku ibaratin sebagai dunia kita saat ini.

Add Comment
comment url