Garisan Tidak Kasatmata
KETIKA AKU sudah melakukan yang terbaik, tetapi sesuatu yang didapatkan tidak setimpal dengan apa yang sudah kulakukan. Kadang-kadang-kadang ingin menyalahkan sesuatu yang pada akhirnya akan membuat diri menjadi berdosa. Takdir, memiliki garis-garis yang tidak pernah bisa kusentuh untuk dibentuk sesuai keinginanku. Garisan takdir tidak pernah memamerkan diri, katanya itu rahasia ilahi. Takdir itu, entah terbuat dari apa, tetapi selalu memberikan sesuatu di luar dugaan.
Aku selalu menangkap sebuah pemabaman, bahwa apa yang kutanam itulah yang akan dituai. Bukankah berarti hal baik akan datang ketika aku melakukan hal yang baik pula? Namun, dari sekian beberapa hal baik yang kutanam, mengapa tidak ada satu pun kebaikan yang kutuai? Pertanyaan-pertanyaan ini akan selalu terlintar, tetapi lintasannya selalu melayang-layang tanpa mendapatkan empu untuk menangkapnya.
Awalnya mungkin aku ingin berhenti saja, untuk apa aku melakukan hal-hal yang tidak pernah memuaskan harapanku? Alih-alih hal baik, justru yang kudapatkan adalah kabar-kabar buruk yang sama sekali tidak ingin didengar telinga. Seketika aku ingin menjadi tuli dan buta, tetapi kabar buruk tidak ada hentinya berhamburan berturut-turut. Jujur, rasanya ingin meneriaki kabar buruk tersebut. Tentu saja itu adalah hal yang sia-sia, memangnya apa yang bisa dilawan dari takdir?
Kadang-kadang aku menelaah, sudut bumi mana yang sekiranya menampung persediaan kabar baik dan takdir baik tanpa batas? Rasanya aku ingin pergi ke sana, membawa semua harapan untuk dipelihara dan menanggalkan sisa-sisa kabar buruk beesama garisan takdir kusut yang tidak kasatmata. Namun, peta hanya menunjukkan letak geografis sebuah daerah bukan letak strategis untuk menyayangi harapan.
Garisan takdir akan selalu mengikuti arah langkahku. Ia tidak akan pernah meninggalkan aku, di mana pun aku berada. Aku tidak mampu menghindar apalagi mengusirnya. Kubilang bentuk takdir itu menyebalkan, tidak dapat digenggam. Aku sampai sudah penat untuk berlari, sudah jenuh untuk menjauh. Pada akhirnya, aku memilih untuk diam saja, membisukan diri tanpa mempedulikan apa pun.
Aku memang tidak menyaksikan, tetapi aku merasakan bahwa ada garisan yang menarik-narik tanganku untuk beranjak, bergerak untuk mengikutinya. Sebenarnya aku enggan, aku marah, beberapa waktu kandungan air di mataku sudah menipis hanya karena meluapkan emosi-emosi yang menumpuk. Saat ini yang tersisa hanya kesabaran diri yang menjadi tameng membanggakan bagi diriku sendiri.
Selain menyebalkan, garisan tidak kasatmata itu ternyata suka memaksa. Aku tertawa sinis, bisa-bisanya ia memerintahku sementara ia telah mengecewakanku bertubi-tubi? Baiklah, untuk kali ini dengan kebesara hati, akan kuikuti kemauannya. Bawa saja aku semaumu, aku tidak peduli. Seranglah aku dengan senjata-senjata andalan yang berhasil mematahkan hatiku.
Aku berjalan, pelan-pelan, garisan itu membawaku melalui jalan-jalan yang berliku. Tidak jarang aku akan menemukan lubang-lubang yang menganga, kadang-kadang bencana kecil datang tiba-tiba. Bagus sekali, ia benar-benar ingin menyakitiku. Sebentar lagi, apakahia akan membunuhku?
Tidak.
Makaudku, itu tidak terjadi. Semua tuduhan di pikiranku dibuyarkan seketika. Genggamanku pada sebuah garisan tidak kasatmata ini semakin kuat, gemetar kecil. Aku tidak percaya, bukan hanya kepada apa yang kulihat saat ini, melainkan juga tentang mengapa garisan tidak kasatmata ini membawaku ke sini?
Apakah ini sudut bumi yang strategis untuk memupuk harapan? Bahkan lebih dari itu, yang membuatku mulutku semakin melebar adalah tentang harapan-harapan milikku, harapan yang sempat kutanam, bagaimana bisa mendarat manis di tempat-tempat yang memang kutujukan?
Perlahan-lahan garis ikatan di pergelangan tanganku melonggar. Aku menggenggamnya kuat-kuat, aku menyadari bahwa menghindari takdir hanyalah sebuah kesia-siaan. Melangkah bersama takdir adalah solusi terbaik, bergandengan tangan bersama takdir adalah keputusan yang berjiwa besar, menggenggam takdir yang tidak kasatmata adalah keputusan yang tepat untuk menuai zebuah harapan yang ditanam. Aku juga menyadari, bahwa hal baik tidak membutuhkan harapan untuk mendapatkan hasil yang baik pula. Sejatinya, ketika aku rela menanam kebaikan, yang dituai akan dengan rela menyerahkan dirinya.
Maka, aku selalu mengatakan pada takdir, “Jangan pernah pergi.”
Berdamai adalah solusi. Meski tidak terlihat mereka akan selalu membersamai langkah kita.
Yap, damai kadang-kadang jadi solusi terbaikk.