Panggilan dari Pulang
Aku berpijak di hamparan halaman rumah, tidak begitu luas. Namun, berhasil mengetuk ingatan akan masa di mana bahagia itu masih singgah. Rumah di depanku tampak berdiri kokoh, sama seperti dulu. Hanya saja, warnanya telah memudar. Bahkan, bahagianya pun ikut pudar.
Langkah kaki perlahan menuntunku sampai tepat berhadapan dengan rumah itu. Sederhana, tetapi kisahnya begitu dalam untuk ditelusuri. Cat putih pudar tidak lagi seceria dulu. Tanaman–tanaman pun entah ke mana, setelah layu tidak lagi ada yang merawat. Seperti kisahku saat ini.
Aku menghela napas. Darahku seolah mendidih, bukan karena amarah, melainkan ada rasa pedih yang mengalir. Perlahan, dadaku terasa sesak. Menahan kenyataan yang bersiap meremukkan hati. Tenggorokanku tercekat, menekan isak yang mulai menyeruak. Bibirku terkatup rapat. Namun, getaran tipis tertera di sana. Jika saja ada satu kata terlontar, lepaslah sudah pertahananku.
Masuk
Suara itu hadir lagi. Entah dari mana, dan karena suara itulah aku berada di sini. Suara yang terus menyeruku untuk pulang dalam beberapa minggu ini. Sampai akhirnya, aku muak dengan nada paksaannya. Satu–satunya cara agar ia berhenti, adalah mengikuti kemauan dari suara tersebut.
Aku berjalan pelan, kali ini jantung berdetak lebih kencang. Jemariku menggenggam erat tali tas ransel yang tersampir di pundak. Pintu jati berwarna putih itu tertutup, masih keras dan bagus. Sebab, mereka selalu mengetuknya perlahan, diiringi seruan manis.
"Aku pulang!"
Seperti radio otomatis, ingatanku memutar suara–suara di masa lalu. Aku ingat, mereka selalu meluncurkan kalimat itu jika pulang. Dan seorang ibu akan membukanya, lalu keduanya akan saling merengkuh.
Mataku memicing, mengedip cepat. Ada air di permukaan mataku, berasal dari ingatan tadi. Bibir yang tadinya terkunci, perlahan terbuka membiarkan sesak melega. Kukerutkan kening mencoba menetralisir pikiran dan rasa.
Bagaimana cara membuka pintu? Apa aku harus melakukan hal yang sama seperti dulu? Akan tetapi, sekarang dan masa lalu sudah berbeda. Bukankah akan tetap sama? Namun, tanganku terangkat. Entah refleks dari mana, aku mengetuk pintu.
"Bodoh. Siapa yang akan peduli!" desisku pelan, hampir seperti berbisik. Akhirnya, air mata lolos memberikan garis basah pada pipi. Sedikit, lalu semakin banyak. Suara isak mengiringi air mata. Artinya, aku tidak mampu bertahan.
Tanganku kembali mengetuk pintu, kali ini sedikit lebih keras. Semakin lama, rasa kesal dan miris hadir. Meski aku tahu, tidak akan ada yang membuka. Dengan isak tertahan, kubuka mulutku dan berseru, "Aku pulang!"
Kusandarkan dahiku di muka pintu. Menumpahkan rasa patah kepadanya. Aku terisak, kenyataan ini begitu pahit. Aku terlalu takut untuk membuka kisah lama yang pahit. Aku lemah untuk itu.
Masuklah, bisik suara itu pelan. Sekolah ingin menunjukkan sesuatu di dalamnya. Kuusap air mata, menarik napas kuat–kuat, lalu membuangnya kasar.
Cukup sudah. Sudah bertahun lamanya, aku menutup seluruh pancaindra dari segala beban. Bersikap bodo amat pada apa–apa yang menghancurkan hidupku. Namun, semakin kusadari, dengan terus seperti ini, maka masalah tidak akan selesai.
Kau hanya perlu membuka pintu, dan kau akan merasakan hal yang menyenangkan.
Suara itu memberikanku sebuah kekuatan. Menimbulkan rasa penasaran lebih tentang apa yang ada di dalam. Kutuntun jemari hingga menggenggam kenop aluminium. Menekannya, dan kubuka lebar pintu tersebut.
Suram. Tersisa cahaya remang matahari dari celah tirai. Satu–satunya cahaya paling terang, berasal dari tempatku berdiri. Menampilkan siluet tubuhku yang tergambar di lantai. Bau debu menusuk hidungku. Kuedarkan pandangan, meneliti tiap–tiap sudut ruangan.
Masih sama. Furniture sengaja dilapisi kain putih, agar debu–debu tidak menodainya. Lagi, sekelebat ingatan berputar di kepala. Bagai hologram, berkumpul keluarga dengan tawa dan canda. Orang tua dan anak–anaknya asyik bersenda gurau di ruang tamu. Melempar cerita, begitu indah dipandang. Diam–diam senyumku mengembang. Ada rasa lain mencoba masuk pada kejadian ini.
Seperti de javu, aku merasa seperti berada di antara mereka. Kufokuskan pandangan pada sosok remaja berambut panjang, kulit kuning langsat, wajah lonjongnya tampak ceria. Ia duduk di samping seorang wanita paruh baya, menyuapi sepotong cookie pada wanita yang amat kusayangi, tetapi dia melukaiku.
"Cookie buatanku enak enggak, Ma?” tanya remaja di sampingnya.
Wanita paruh baya itu tampak akting berpikir lama. Membuat remaja perempuan tadi cukup cemas akan hasil jawaban dari ibunya. Sang ibu lalu tersenyum dan berkata, "Enak, dong! Kamu memang anak Mama yang paling pintar!"
Remaja itu sepertiku, tetapi itu bukan aku! Kualihkan fokus ke sisi lainnya, seorang pria paruh baya tampak berdiskusi dengan seorang perempuan dewasa. Mereka berbicara lebih serius meski terkesan santai.
"Papa bangga sama kamu, kamu mesti belajar lebih giat lagi. Kamulah nantinya yang pantas meneruskan perusahaan Papa," jelas pria itu dengan bangga. Tangannya mengelus pelan puncak kepala perempuan di depannya. Dia pasti kepala keluarganya.
"Apa pun untuk Papa," balas perempuan itu. Senyumnya mengembang, semakin cantik saja. Rambutnya lurus dan panjang, kulitnya putih seperti sang ibu. Ia juga mirip denganku.
Aku menoleh ketika suara derap langkah kaki seorang gadis datang dari sebuah ruangan lain. Gadis itu lebih tua dari remaja tadi, tetapi lebih muda dari perempuan di samping pria paruh baya. Air muka gadis itu tampak berbeda. Ia duduk di antara sang ibu dan pria paruh baya, kurasa itu ayahnya—lagi, aku amat menyayanginya, tetapi dia melukaiku.
"Ma, Pa, aku punya sesuatu," ucap gadis itu pelan, seperti mencoba untuk menahan rasa perihnya. Namun, tidak ada pergerakan berarti dari kedua orang tua di sisinya. Mereka sibuk dengan anak 'kesayangan' mereka.
"Aku kemarin buat puisi, tentang—"
"Papa tidak mau dengar. Menulis tidak akan membuatmu sukses! Menulis hanya membuang–buang waktu!" seru sang ayah memotong ucapan gadis itu. Tidak lama, pria itu bangkit dan meninggalkan ruangan tersebut. Gadis itu menatap nanar punggung sang ayah. Tidak menyerah, ia menoleh ke sang ibu.
"Mama mau ke dapur," ujar sang ibu, lalu beranjak.
"Mau ikut!" rengek remaja di sebelahnya. Sang ibu tersenyum manis.
"Boleh dong! Bikin kue lagi, yuk?” ajak sang ibu seraya menarik pelan lengan anaknya.
Lagi, gadis itu hanya tersenyum getir. Tinggallah gadis itu dengan perempuan di depannya. Gadis itu menatap kakaknya dan bertanya, "Kenapa?"
Perempuan itu menggeleng lemah. "Maaf, aku harus kerjakan tugas." Dan, ia meninggalkan gadis itu seorang diri.
Gadis itu menunduk, lalu bersandar pada punggung sofa. Suasana yang tadinya ceria berganti kesunyian. Kelabu melingkupi atmosfer kesendirian gadis itu. Dia mendongak dan menatap ke arahku.
Aku terdiam, memandangnya iba. Wajahnya lesu, tidak ada amarah, hanya kecewa. Tidak ada air mata, hanya pandangan menyedihkan. Bola mata hampir gelap dan sebuah kantung terhias di bawahnya. Menandakan, ia tidak mampu lagi menangis karena air matanya telah habis.
Berdamailah dengan kepatahan, kamu harus pulang untuk menjadi kuat. Jangan membenci, bagaimanapun mereka adalah alasan tentang mengapa kamu harus pulang.
Sekarang aku tahu, dari mana suara itu hadir. Dia adalah aku yang menetap pada sebuah kenangan bersama mereka yang juga aku cintai. Aku terlalu egois menahan diriku untuk terus berlari. Sedangkan, solusi tidak pernah jauh dari masalah itu sendiri. Ya, aku hanya perlu berdamai bersama apa yang menjadi sumber kepatahan.
Aku memejamkan mata, rasa sesak tadi perlahan menghilang. Kalimat yang terlontar membuatku lega. Aku mengembangkan senyuman. Tidak ada paksaan. Aku berjalan menuju sofa di mana gadis itu—aku di masa itu—duduk. Kusibakkan kain putih ke lantai dan duduk di sana. Aku bersandar.
Sudah lima tahun berlalu. Aku berhasil meraih impianku. Meski, harus pergi dari rumah ini karena untuk apa aku di sini jika tidak dianggap? Bukankah rumah adalah tempat paling aman dan nyaman untuk singgah? Bahkan, ketika aku pergi pun, mereka tak mencariku. Mereka terlalu sibuk mengasihi anak kesayangan. Aku mengusap wajahku.
"Aku bisa berdamai," ucapku pada akhirnya, “Terima kasih, telah menuntunku pulang."
Sedih banget bacanyaaa, aaa pernah merasakan ini. Rasanya saat ada yang tidak setuju jadi bagaimana gitu.
Namun itu semua hanyalah kenangan :(
Hoo ternyata pernah nengalami hal ini, yaaa. Isoke, kadang engga semua yang kita suka itu bisa diferima sama orang-orang terdekat. Tapi kita punya opsi untuk membuktikan dan membuat mereka akhirnya menyetuiui bahkan mendukung kitaa.