Cerita Emosi: Tumbuh di Bawah Tekanan
AKU BUKAN jin apalagi hantu, melainkan aku ikut lahir bersama seorang bayi yang lucu. Aku bukanlah khodam apalagi titipan, melainkan aku selalu membersamai bayi yang akan tumbuh. Aku bukan juga manusia apalagi berwujud, melainkan aku akan selalu ada di diri bayi yang akan berkembang.
Aku sama seperti bayi itu, akan ikut tumbuh dan berkembang. Dari yang enggak tahu apa-apa, seiring berjalannya waktu aku akan banyak tahu dan menyerap segala yang terjadi melalui perasaan. Meskipun enggak terlihat, tetapi aku hidup.
Perkenalkan, namaku emosi. Kalian pasti sudah enggak asing denganku, ‘kan? Sebagai perwakilan dari persatuan emosi sedunia, aku terima kasih bagi kalian yang telah menggunakan emosi sebaik mungkin. Harapannya, aku mendapatkan seseorang yang mampu memperlakukanku dengan baik.
Aku sudah siap untuk menerjang dunia, sementara aku masih belum tahu-menahu kehidupan seperti apa yang akan dilalui bayi yang diberi nama Kamu oleb orangtuanya. Menurutku itu nama yang bagus dan langka. Baiklah, mulai saat ini biar kusebut bayi ini dengan Kamu, ya.
Orangtua menang sepantasnya untuk disayangi dan dihormati. Aku benar-benar kagum bagaimana kesabaran mereka mendidik Kamu dengan gigih. Dalam beberapa waktu, aku merasa iri karena enggak bisa menjadi manusia. Aku ingin menjadi orangtua seperti mereka, mendidik dan menyayangi Kamu dari berbicara sampai membaca.
Sebagai emosi, dengan cepat akan kuserap energi-energi yang terjadi sehingga reaksi yang kubuat akan meluap. Seperti saat, ibu Kamu mengajak berbicara, aku akan merasa bahagia dan saat ayah Kamu mengajak bermain, aku akan tertawa. Kadang-kadang, aku akan menangis jika keinginan enggak dipenuhi atau dimarahi karena melakuksn kesalahan. Ayah dan ibu akan selalu berkata pada Kamu, “Jadilah anak yang sukses, ya, Nak!”
Tentu saja, aku akan siap bereaksi senang jika Kamu sudah sukses, saat itu aku dan Kamu akan sama-sama menyaksikan wajah sumringah orangtua yang selama ini terlalu berjasa mendidik Kamu. Untuk menjadi sukses, akan ada proses yang mesti Kamu lalui. Tenang saja, aku adalah emosi yang akan selalu ada untuk Kamu.
Setidaknya aku tampak normal sampai menjadi seorang pelajar. Aku akan selalu menyerap energi kebahagiaan dan kesedihan yang masih bisa kukendalikan karena hal itu enggak akan berlangsung lama. Ya, setidaknya itu yang terjadi sampai ketika amarah ayah dan ibu Kamu sudah berbeda makna. Raut wajah mereka akan benar-benar memerah, bahkan urat-urat menegang karena emosi mereka. Jujur saja, aku baru menemukan emosi meledak-ledak seperti itu. Aku bertanya-tanya, “Apakah itu baik?”
Ayah rutin menghukumku dan ibu rutin memarahiku kalau-kalau keinginan mereka tidak terpenuhi. Hal itu terjadi jika nama Kamu enggak berada di jejeran lima besar di kelas. Kadang-kadang, Kamu akan ditahan di kamar sendiri dan dilarang melakukan hal yang Kamu suka karena harus belajar dan belajar. Kamu akan selalu memintaku untuk bersedih dan menangis. Jujur, aku rindu dengan keceriaan Kamu.
Kamu merasa enggak sih bahwa ayah dan ibu sudah berbeda perangai? Hal itu akhirnya kutanyakan saat Kamu jenuh dengan pelajaran-pelajaran yang sudah hampir satu pekan dipaksa tekun. Kamu enggak tahu, tetapi aku mulai enggak berani untuk berbicara dengan ayah dan ibu. Aku mulai memberi jarak antara Kamu dan orangtua. Aku bertanya untuk memastikan, “Apakah Kamu nyaman akan reaksi dariku?”
Namun, aku terdiam ketika Kamu menjawab, “Ayah dan ibu yang membuatku enggak nyaman dengan mereka.”
Kalau dipikir-pikir, di mana letak kesalahan Kamu? Aku sendiri merasa enggak ada yang salah ketika duduk di peringkat yang biasa-biasa saja. Aku tahu, berada di peringkat lima besar adalah prestasi. Namun, apakah di bawah itu adalah anak-anak yang bodoh? Aku yakin enggak, bukankah kita ditakdirkan dengan kemampuan hebat masing-masing? Aku masih enggak mengerti jalan pikiran ayah dan ibu.
Kamu mencoba memikirkan sesuatu bagaimana agar membuat ayah dan ibu bangga karena Kamu. Mulai saat itu, Kamu menekuni hobi dan mengonversi ke bakat untuk digali. Aku terkagum-kagum dengan usahamu, jika saja orangtua Kamu melihat kegigihan Kamu, kuyakin mereka akan bangga. Meskipun, sesekali Kami harus pura-pura belajar jika dalam pantauan orangtua.
Sebenarnya, aku agak cemas dan takut-takut, bagaimana kalau ayah dan ibu tahu kalau Kamu sedang berbohong? Namun, Kamu selalu menepisnya dengan iming-iming bahwa ayah dan ibu enggak akan marah jika Kamu berhasil berprestasi dalsm bakat yang Kamu tekuni. Aku hanya menurut saja, meskipun sedikit ragu. Akan tetapi, aku punya harapan agar keberhasilan ini membuat orangtua Kamu berpikir terbuka.
Ini aneh, mengapa ayah dan ibu marah besar? Justru mereka menyalahkan prestasi di bidang bakatmu karena Kamu terperosok di peringkat golongan bawah. Aku ingin marah, tetapi Kamu menahannya karena Kamu diajarkan untuk patuh dan menghormati orangtua. Aku ingin berteriak, tetapi Kamu memintaku diam karena Kamu diajarkan untuk bertutur lembut dan sopan kepada orangtua. Kamu, mengapa ayah dan ibu enggak menyadari kecintaan Kamu terhadap mereka?
Semakin beranjak dari usia satu ke usia remaja, lebih parah. Aku menyimpan perasaan yang sudah meluap-luap, tetapi Kamu selalu mampu menahannya. Kamu itu sekuat apa sampai mampu mengunci emosi marah yang semakin lama semakin menumpuk? Tolong hitung, sudah berapa lama Kamu memupuk kesedihan dari tahun ke tahun? Dengan pertanyaan-pertanyaanku, Kamu akan selalu berkata, “Aku enggak bisa menyakiti mereka.”
Lagi-lagi aku dibuat kesal, bukankah mereka sudah menyakiti Kamu?
Aku enggak mengerti definisi sukses ayah dan ibu itu seperti apa? Seringkali mereka skan membandingkan Kamu dengan orang lsin yang menurut mereka lebih sukses. Katanya, Kamu harus seperti mereka yang sukses dan bisa cepat-cepat menyusul. Lama-lama, aku menyerap ketidakpercayaan diri karena ayah dan ibu terus memojokkan Kamu. Seakan-akan, Kamu enggak akan sukses kalau enggak seperti mereka.
Aku tahu, Kamu berusaha lagi dan lagi untuk membuktikan bahwa Kamu bisa. Namun, ketika mengejar sesuatu dengan tekanan dan sementara aku tahu Kamu enggak menyukainya, apakah akan baik-baik saja? Jujur, aku lebih senang ketika Kamu menekuni hobimu, seperti mendapatkan keceriaan yang tulus. Akan tetapi, aku akan merasa terkekang karena tumbuh di bawah tekanan orangtua.
Namun, lambat laun aku enggak yakin dengan kemampuan Kamu. Apa Kamu bisa? Nyatanya, ayah dan ibu kini meremehkan apa yang Kamu usahakan. Daripada marah, aku lebih bersedih, mengapa mereka enggak mencoba untuk mendukung Kamu? Bahkan aku merasa bahwa enggak ada hal yang bisa Kamu lakukan di dunia ini. Seakan-akan Kamu bukanlah sesuatu yang berguna.
Apa aku salah? Kadang-kadang hidup ini enggak adil, aku enggak boleh menyalahkan siapa pun karena bagaimanapun Kamu punya pilihan untuk berusaha lebih keras. Akan tetapi, enggak semua orang mampu menghadapi tekanan diremehkan dan dibandingkan seperti Kamu. Emosi dan pikiran setiap orang berbeda-beda, tetapi apakah Kamu menyesal karena memiliki emosi yang lemah sepertiku?
Kalau boleh aku membela diri, aku enggak akan lemah seperti ini jika sejak awal orang-orang terdekat akan mendukung Kamu. Kalau boleh aku menyalahkan, ayah dan ibu sudah salah karena memberi tekanan bukan dukungan. Ya, aku tahu, sebagai anak harus mengingat jasa dan kasih sayang orangtua. Aku tahu orangtua selalu punya maksud baik, tetapi apa harus dengan cara mengekang dan menekan?
Aku emosi, aku enggak menyangkal jika hidup Kamu akan membuatku harus menyerap perasaan yang melelahkan. Aku emosi, aku berharap Kamu akan segera bangkit dan kembali membuktikan bahwa apa yang kamu tekuni dapat membuat mereka bangga. Aku emosi, aku ada di sini bersamamu, tumpahkan saja demuanya padaku. Aku emosi, sekali lagi perkenalkan aku adalah emosi yang sudah babak belur.
Emosi jiwa....
Bisa lah kak Vina jadi psikolog nih. Tulisannya amat mendalam. Sama seperti yang kurasakan
Wkwk engga dong, jadi psikolog pasti ada syaratnya. Itu aku cuma riset sama pernah mengalami aja, hihi.