Hadiah Impian dari Kasih untuk Bapak
KASIH BERDIRI di depan pintu toko roti. Kedua tangan mungil Kasih tampak kesusahan karena terisi penuh dengan paper bag berisi belanjaan. Sementara, tangan kirinya membawa plastik berisi kotak kue. Wajah sumringah terprati di wajah manisnya, dia menengadah untuk memastikan apakah hujan akan turun malam ini. Sebab, sedari tadi suara gemuruh sudah saling bersahutan mengabarkan pasukan hujan akan segera tiba. Namun, hal itu tidak memendungkan suasana hati Kasih yang sudah terlanjur dipenuhi bunga-bunga.
Kasih menimang-nimang, jika dia memilih untuk berteduh, khawatir hujan akan lebih lama bertandang. Jarak rumahnya sudah tidak terlalu jauh, mungkin tidak masalah untuk pergi sekarang, mengingat malam sudah hampir larut. Kasih tidak ingin membuat seseorang menunggu terlalu lama. Kasih melepas sweater polos berwarna merah jambu, digunakannya untuk menutupi paper bag dan kotak kue dengan tujuan jika terjadi hujan barang dan makanan yang sudah dibeli tidak terkena paparan hujan. Perempuan itu mulai mengarungi gerimis, tubuhnya yang terbungkus kaos polos lengan pendek dan jeans dengan mudah menjadi terkeman pasukan hujan. Dia sedikit berlari di pinggiran jalan, Kasih tidak peduli jika dia sudah basah, yang dipedulikan hanya sesuatu yang dia lindungi dipeluk erat yang terbungkus sweater tebal. Kasih akhirnya bersyukur karena membeli sweater tebal dengan harga yang lumayan, ternyata menjadi amat berguna di saat sekarang.
Suara sepatu tali yang dipakai berlari membuat cipratan demi cipratan, sampai-sampai ujung celananya kotor. Tidak masalah, Kasih hanya peduli dengan kue dan isi paper bag. Sementara, pasukan hujan semakin berdatangan, tiap ujung yang jatuh membuat tusukan yang perih di kulit sensitif Kasih. Dalam berlarinya, dia kembali menimang-nimang untuk berhenti atau tetap terus melaju. Perlahan-lahan, Kasih mengkhawatirkan kue dan paper bag yang berusaha dia lindungi, bahkan dia sampai harus membungkuk. Namun, Kasih tidak bisa membuat seseorang menunggu lama di rumah, tidak ada alasan untuk berhenti. Beberapa meter lagi, sebentar lagi, dirinya akan sampai di teras rumahnya. Beberapa menit lagi, dia akan bertemu dengan seseorang dan saat itu pula dia akan memberikan kue dan paper bag kepadanya. Membayangkan hal itu, membuat Kasih semakin bersemangat untuk mempercepat larinya. Ada senyum terkembang ketika mendapati wajah seseorang yang menyambutnya dengan bahagia di pikiran. Ah, Kasih benar-benar tidak sabar.
Kasih mengatur napasnya pelan-pelan, romgga pernapasan terasa sesak akibat berlari tanpa henti. Sudah lama sekali dia tidak berolahraga, hal ini membuatnya harus berpikir untuk mulai berolahraga rutin. Kasih berdiri di teras rumah sederhana miliknya. Kasih melepas sepatunya dan dengan cemas dia meletakkan sweater yang bagian sampingnya basah ke atas meja. Dibukanya pelan-pelan, Kasih bernapas lega, setidaknya tidak terlalu basah. Diambilnya paper bag dan kotak kue dalam satu tangan, cepat-cepat kakinya menuju pintu kayu dan mulai mengetuknya.
“Pak, Kasih pulang!”
Tidak lama pintu terbuka, seorang pria bertubuh kurus berdiri di hadapan Kasih. Dia menatap lurus Kasih dan menajamkan dari atas kepala hingga ujung kaki.
“Pak, ini Kasih beliin Bapak kue tar cokelat kesukaan Bapak. Kasih juga beliin Bapak kemeja sama celana bahan buat pergi-pergi,” Kasih menyodorkan paper bag berisi pakaian dan kotak kue ke arah pria tersebut. “Kebetulan ini gajian pertama Kasih, jadi Kasih pengin kasih Bapak semua ini.”
Pria itu bergeming, wajahnya mengeras, cermat mengamati apa yang tengah dilakukan anak semata wayangnya. Kedua tangannya tidak kunjung menampakkan sambutan yang pasti. Pria yang dipanggil bapak itu, mengamati betapa lusuhnya Kasih, tetapi wajah bulat itu justru menampilkan sebaliknya.
“Bapak sudah bilang, jangan membuang-buang uang untuk hal yang enggak penting seperti ini.”
Kasih terdiam ketika kalimat tersebut terlontar dari bibir bapaknya. Alih-alih untaian diksi indah yang barangkali akan menghangatkan tubuhnya, Kasih mendapatkan tatapan tajam menusuk yang menembus hatinya. Jujur, Kasih lebih suka ditusuk oleh pasukan hujan.
“Buang semua ini, seharusnya pikirkan masa depan kamu. Bukan malah beli barang-barang enggak berguna.”
Kali ini Kasih tidak berkutik. Hentakan dari suara bapaknya benar-benar membuat tubuhnya semakin terasa dingin. Dengan gemetar, diturunkan kedua tangan menggenggam erat hadiah yang dianggap tidak penting. Tatapannya nanar, semakin pilu ketika sang bapak berbalik dan meninggalkan Kasih dalam kekecewaan yang diciptakan dalam sekejap.
Kasih membawa dirinya masuk, pelan-pelan. Takut-takut akan mengundang perhatian sang bapak yang tengah marah padanya. Setelah menutup pintu, Kasih meletakkan kotak kue dan paper bag di atas meja ruang tamu. Dipandangi lamat-lamat hadiah yang sudah tidak berarti apa-apa, wajahnya berubah sendu. Kasiu pikir, hadiah ini akan menjadi awal mula kedekatannya dengan sang bapak. Kasih pikir hadiah ini akan membuat sang bapak lebih memperhatikannya lagi. Semenjak ibu pergi satu tahun lalu, bapak yang sudah dingin semakin dingin kepada Kasih. Sementara, Kasih membutuhkan kehangatan yang didambakan setiap anak perempuan dari cinta pertamanya, bapak. Kasih akan selalu mengelus puncak kepalanya sendiri ketika mendapati teman perempuannya dielus bahkan dikecup sayang oleh bapak mereka. Kasih selalu memeluk dirinya sendiri ketika teman perempuannya dengan mudah mendapati pelukan dari bapaknya. Pun, Kasih hanya dapat berangan-angan diksi cinta dan sayang dapat terucap dari bibir bapaknya. Sebuah impian yang sudah lama didambakan, sebuah impian yang baru saja gagal. Mungkin memang Kasih ditakdirkan untuk menjadi beku karena kedinginan sang bapak.
Kasih berbalik dan berjalan gontai menuju kamarnya. Dia tidak akan mampu membuang hadiah istimewa untuk bapaknya. Meski dianggap tidak penting, tetapi ada impiannya di sana. Ada harapan yang sudah lama menggebu. Bahunya bergetar, bukan karena tubuhnya yang kedinginan akibat terkena hujan. Rasa sesak itu hadir, bukan diakibatkan lari tadi, melainkan dia menyadari bahwa Kasih tidak akan bisa menerima kasih dari bapaknya. Kasih menutup pintu, berjalan hingga terhenti sisi ranjang, tanpa membersihkan diri, direbahkan tubuh di atas kasur yang kini terkena imbas basahnya. Matanya terpejam, tetapi air tetap mengalir dari sana sampai dia larut dan dibuai oleh mimpi.
Pada mimpinya, sang bapak tengah makan kue yang dibeli Kasih dengan lahap, bahkan pria itu memakai kemeja dan celana yang dibeli Kasih. Dalam lelapnya, Kasih tersenyum. Namun, Kasih lupa, bahwa Kasih adalah kasih yang dikasihi bapaknya diam-diam. Bahwa tidak semua mimpi adalah buruk, bahwa ada satu mimpi indahnya yang telah terjadi ketika Kasih tersenyum dalam tidurnya.
Ceritanya bagus kak. Jadi kepengen nulis deh gara-gara lihat kak Vina nulis terus. Tapi, entahlah kapan bisa mewujudkannyaš©
Huhu, yuk dimulai supaya terwujud!!