Perempuan dalam Penantian Semu
KAMU MELANTUR dalam lelap di kelam yang gelap. Tiada malam paling indah kecuali malam itu, ketika dia masih bertandang di pintu teras rumahmu. Setidaknya, itu yang terjadi satu tahun lalu, sebelum akhirnya kamu menjadi piawai dalam duka yang semakin tergali. Pelan-pelan lanturan itu membawamu ke alam kesadaran, tidak lagi semu yang pahit, kenyataan ini sudah semakin rumit. Kelopak matamu mulai terbuka sedikit demi sedikit hingga sempurna. Tanpa menggerakkan tubuh, bahumu bergetar bukan atas kendalimu, melainkan karena kesedihan yang selalu ditangisi.
Dia berkata padamu akan pergi untuk waktu yang lama, seraya melambaikan tangan dan megaliri kasih yang sudah tidak sampai lagi. Kamu menangis lagi, selalu seperti itu setiap malamnya dengan tubuh yang terbaring menyamping di atas ranjang lusuh. Dalam setiap air mata yang memberi garis basah pada pipimu, ada sisa-sisa harapan untuk menemukannya kembali di depan pintu teras rumahmu. Telingamu selalu siap siaga untuk menyambut ketukan pintu yang khas dari tangannya. Bahkan, bola matamu tidak lepas sekali pun dari pintu yang tertutup di depanmu. Isi kepalamu hanya memikirkan tentang dia yang akan kembali.
Pada penantian yang menjadikan harapan setinggi gunung. Layaknya proyektor, kepalamu memutar kembali rekaman-rekaman sama yang pernah terjadi satu tahun sebelumnya bersama dia. Dalam diam yang kelu, tiap-tiap adegan mengisi kenangan-kenangan yang tidak pernah pudar. Seperti di kala dia untuk pertama kalinya mengusung senyuman maut di hadapanmu yang tengah runtuh. Mulai dari situ, kamu akan selalu menantikan senyuman itu. Hari-hari, bahkan berminggu-minggu, dia mulai melayangkan tangan dan mendaratkannya di puncak kepalamu. Kamu terhenyak sejenak, ketika tangan itu mengelus pelan kepalamu, sesuatu yang hangat dan menyenangkan menjulur hingga jatuh di palung hati. Kamu mulai mengabarkan pada diri bahwa kamu telah mencintainya.
Dua, tiga musim diarungi bersama, kenyamanan mulai tercipta. Dia seperti payung di kala hujan mengguyur hatimu. Dia seperti lemari es yang siap menemani hatimu yang tengah kemarau. Dia seperti siap akan apa-apa yang terjadi padamu. Dia bagaikan bagian dari takdir yang memang telah dihadirkan untukmu. Ya, kamu telah meyakini semua hal itu dan dari sinilah harapan itu terjadi. Di balik pintu hati, ada secercah harapan yang mulai mengintip, membisikkan pada diri untuk bagaimana jika kamu dan dia bersama-sama saja? Bukankah kenyamanan telah menyelimuti hati kamu dan dia? Lalu apa ada alasan untuk tidak bersatu? Bukankah ini takdir yang kamu yakini, bahwa dia telah ditakdirkan untukmu?
Esoknya, dia mengetuk pintu sebanyak lima kali, dua ketukan pertama bertempo lambat dan sisanya bertempo cepat. Kamu sudah merias diri, tahu hari ini akan datang. Cermin pun telah memuji-muji keindahanmu, bahwa kamu adalah perempuan paling cantik. Lelaki mana yang tidak akan tertawan? Dengan senyuman bibir bergincu merah jambu mengembang dan membuka pintu. Dia berdiri di sana dengan payung yang melindungi dirinya dari hujan di luar sana. Kemejanya hampir kebasahan, baru saja kamu ingin membiarkan dia masuk dan memberikan handuk. Namun, dia lebih dulu memberikan payung itu padamu, kali ini lelaki itu sudah basah sepenuhnya. Kamu bingung, kamu terdiam, dan mencoba mencerna tentang maksudnya.
“Mulai saat ini, belajarlah memayungi dirimu sendiri. Setelah itu, belajarlah untuk memayungi orang yang ingin berbagi payung denganmu.”
Setelah meletakkan payung di sisi pintu, dia mengulurkan tangan dan mengusap kepalamu. Setelah itu dia berbalik dan berlari di bawah rinai hujan, dia sudah pergi bersama hujan-hujan yang melenyapkan jejaknya. Kamu masih bergeming, matamu sudah tidak lagi bercahaya, gincu berwarna manis itu tidak lagi mengesankan romantisme yang kamu harapkan. Tidak ada sesuatu yang manis, yang ada hanya awal mula terjadinya tangis. Kamu menutup pintu dan berjalan gontai menuju ranjang. Kamu duduk di sisian ranjang, ada yang kosong, tetapi meremas-remas hati. Ada yang memenuhi rongga pernapasanmu sehingga sulit untuk mengambil dan membuang napas. Apakah barusan itu tentang kepergian?
Bahkan sampai saat ini pun kamu masih bertanya-tanya, apakah ini kepergian? Apakah seperti ini rasanya ditinggalkan oleh pergi? Inikah harapan-harapan yang nyatanya hanya dibangunkan sepihak lalu diruntuhkan sepihak? Kamu sudah lama bersedih, menangis dari meraung, sesenggukan, sampai diam saja. Kamu memang sudah lelah untuk mengeluarkan air mata, tetapi kamu tidak ada lelahnya untuk menanti. Kamu hanya ingin dia kembali. Dia yang dulu telah memperbaiki reruntuhan, dan kini dia pula yang membuatmu harus meruntuhkan dirimu sendiri. Kamu, akan sampai kapan terus seperti ini? Berbagai ketukan berbeda-beda tidak diindahkan, sementara kamu telah melewatkan hal-hal yang bisa saja membuatmu kembali pulih. Namun, kamu enggan. Kamu hanya meyakini ilusi tentang dia yang akan kembali. Seyogyanya, kamu telah menanti dia yang tidak ingin dinantikan olehmu.
Kamu, telah menyakiti dirimu sendiri.