Ketika Orang Baik butuh Orang Salah
ORANG SALAH katanya mesti dijauhi, khawatir akan menjadi pengaruh buruk bagi kehidupan seseorang. Orang salah katanya tidak layak untuk ditemani karena seseorang akan mencerminkan perilaku dan tabiat temannya. Orang salah katanya akan sulit untuk kembali menempuh jalan yang lebih baik karena dia telah terlalu jauh menelusuri jalan yang salah. Benar, semua itu memang benar. Memang, orang salah adalah orang yang salah, tetapi tidak selamanya kesalahan butuh validasi kesalahan.
Orang yang salah terbagi menjadi dua, ada yang menyadari dan sebaliknya. Kadang-kadang mereka akan berlindung di balik kalimat “Gue memang jahat dan gue enggak munafik.” untuk bertahan pada gelar orang salah tersebut. Seakan-akan hal yang salah akan menjadi tidak apa-apa hanya karena membanggakan bahwa diri tidak munafik. Munafik memanglah hal yang tidak terpuji, tetapi apakah mengaku tidak munafik untuk menjadi orang yang salah adalah sebuah solusi? Solusi bukanlah solusi ketika dia masih bertahan pada tempat yang sama, tidak ada perubahan. Sesuatu yang baik akan menjadi baik ketika dia ditempatkan untuk hasil yang baik pula. Begitu juga dengan hal ini.
Mungkin, sebagian dari orang yang salah akan merasa sulit untuk menerima kalimat-kalimat yang memintanya untuk cepat kembali. Kadang-kadang mereka akan mengintimidasi dengan tuduhan sok peduli dan urusi saja urusanmu sendiri. Sebagai makhluk hidup yang cara hidupnya adalah berinteraksi dan bersosialisasi dengan makhluk lainnya, tentu tuduhan tersebut secara tidak langsung melanggar fakta satu ini. Bahkan, secara spiritual pun sudah semestinya mengajak sesama untuk berjalan di jalan yang seharusnya atau biasa dikenal dengan mengajak pada kebaikan, menghindar dari keburukan. Seperti frasa bahasa arab yang familiar yaitu amar makruf nahi munkar berarti menegakkan kebenaran dan melarang yang salah. Tentu untuk melarang kesalahan butuh untuk mengajaknya pada kebaikan demi menegakkan kebenaran supaya terhindar dari kesalahan. Apa jadinya dunia jika hal yang salah sudah semakin samar, bahkan telah menyatu bersama hal yang benar? Namun, kenyataannya, pada zaman sekarang hal itu telah terjadi dan karenanya banyak orang keliru dan sulit membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Dampaknya, siapa pun seakan-akan bebas dalam melakukan kesalahan karena berlindung di balik slogan tidak ingin munafik, ditambah dengan orang-orang yang tidak mau acuh akan kesalahan tersebut. Benar-benar tampak seperti simbiosis mutualisme, tetapi sejatinya adalah simbiosis netralisme. Seringkali ditemukan, seseorang yang berbuat salah dibiarkan dengan dalih itu adalah hak dia, sementara lupa bahwa ada kewajiban untuk mengingatkan dari kesalahan yang sebaiknya dihindari tersebut. Sebetulnya, banyak sekali cara untuk mengajak pada kebaikan tanpa harus menuduh, menghakimi, atau bahkan memvalidasi kesalahan tersebut. Tutur kata yang lembut, perilaku yang sopan, ajakan yang tersirat tanpa difrasakan secara terang, siapa tahu bisa membuat orang yang salah dapat kembali menempuh jalan yang benar, ‘kan? Pun, jika sudah diingatkan tetap ingin menjadi orang yang salah, maka doa menjadi solusi paling terbaik. Bagaimanapun, manusia tidak punya andil untuk mengendalikan hati manusia lainnya, kecuali hanya Tuhan yang punya kuasa untuk membolak-balikkan hati manusia-Nya. Jika sejak awal tidak memiliki nyali untuk mengajak, maka kembalikan pada solusi terbaik yaitu mendoakan kebaikannya.
Ya, semudah itu memang. Secara harfiah, manusia memiliki dasar hati yang baik, tetapi pengalaman hidup, konflik hidup, lingkungan hidup, tekanan hidup itu kadang-kadang membuat seseorang terjerembab sehingga menjadi orang yang salah. Semua manusia pasti akan melalui fase-fase tidak menyenangkan dalam hidupnya dan hal itu akan membentuk karakter manusianya sendiri. Dibutuhkan pikiran yang jernih dan hati yang lapang untuk dapat menempuh jalan yang baik. Namun, apakah orang yang salah tidak memiliki pikiran yang jernih dan memiliki hati sempit karena memilih jalan yang salah? Secara persentase mungkin hanya lima puluh persen dan kehidupan punya andil dalam sisanya, lima puluh persen tersebut. Setidaknya hal ini sudah cukup menjadi alasan siapa pun untuk tidak, untuk jangan, untuk menghindari menatap tajam kepada orang yang salah, untuk jangan bertutur kasar pada orang yang salah, untuk tidak perlu berpikirkan bahwa dia adalah orang yang salah—meskipun memang begitu nyatanya. Daripada reaksi-reaksi tidak berguna seperti itu, kadang-kadang orang yang salah butuh tatapan teduh dan senyuman hangat, serta pikiran positif dari orang lain. Dalam hal ini, kadang-kadang mereka butuh seseorang untuk merangkul dan membantu tanpa harus menyakiti.
Orang yang salah memang telah melakukan kesalahan, tetapi orang yang salah tidak membutuhkan klaim validasi bahwa dirinya bersalah. Secara sadar, sebagian orang yang salah menyadari, tetapi mereka tidak tahu caranya kembali. Orang-orang yang salah kadang-kadang memiliki kemauan dan tekad untuk tidak menjadi salah, kadang-kadang mereka merasa malu karena akan bergabung dengan orang-orang yang tidak salah. Sejatinya semua orang tidak luput dari salah-salah, maka siapa pun tidak semestinya meremehkan orang salah yang ingin berubah menjadi baik, tetapi sambutlah dan pertahankan mereka. Mulailah untuk menjadi alarm syahdu bagi mereka yang salah, meski sendirinya pernah melakukan salah. Tetaplah menjadi doa bagi orang yang salah untuk menempuh jalan yang benar. Manusia di dunia hanya terdapat dua macam, orang salah yang harus segera kembali pada kebaikan dan orang baik yang menjadi penuntun bagi orang salah untuk berjalan jalan kebaikan. Orang baik akan terasa sempurna ketika dia telah mendoakan dan mengajak kebaikan pada orang salah. Kadang-kadang orang baik butuh orang salah untuk menjadi bahan pembelajaran hidup.
Ya, aku setuju dengan tulisan ini kak. Memang, kesalahan itu menyakitkan. Tapi dari situlah datangnya pelajaran
Iyaak, kadang lupa, kalo menuntun orang salah juga termasuk kebaikan.
Semoga bisa selalu berusaha menjadi orang yang baik. Sehingga memberi manfaat pada orang lain.
Aamiin, Kakk.
Kadang urusan perut kosong (gak punya uang) memaksa seseorang tiba-tiba mencuri.
Serbasalah memang, tapi untuk bisa memandang kesalahan dari sisi yang positif itu cukup sulit.