When My Eyes Talk

art vector by pch.vector (freepik)

HAI, AKU MATA. Tepatnya aku adalah mata yang menjadi bagian dari organ kepala seorang sudut pandang vina. Dia bilang kepadaku untuk mengambil alih tulisan kali ini. Katanya, sih, dia bingung untuk menulis apa lagi hari ini. Otak udah memberi saran buat saja tulisan untuk mengisi diary blog, tetapi perempuan ini berpikir untuk bagaimana caranya tetap memiliki pesan meskipun hanya tulisan ringan.

Jadilah aku di sini sekarang. Walaupun aku ini mata, aku sering melihat sudut pandang vina menulis dan sedikit paham terkait kepenulisan, jadi tenang saja. Dikarenakan aku adalah mata, aku ingin menceritakan the journey of me.

Tahun-tahun awal aku hanya berdiri sendiri, seenggaknya itu bertahan selama sekitar delapan tahun. Sampai akhirnya anak kecil bernama Vina ini mulai berbuat ulah. Ya, jujur, aku sempat kesal karena cara melihatku menjadi enggak jelas alias blur.

Sebenarnya aku sudah memperingatkannya untuk jangan menonton teve terlalu dekat. Kalian ingat, kan, teve zaman dulu masih berbenguk tabung dengan pengeras suara yang berada di kanan dan kirinya. Ah, iya, aku lupa organ pendengaran makhluk ini memiliki gangguan yang membuatnya harus menonton terlalu dekat demi dapat mendengar dengan jelas. Ya, tetap saja, aku kena imbasnya, kan?

Kalau kalian mau tahu, saat ini si telinga sedang menatapku tajam. Daun telinganya itu bergerak-gerak gontai. Padahal, dia—si telinga—sudah pernah dibawa ke THT, aku bersaksi betul-betul ketika sebuah alat memasuki lorong telinganya. Aku sendiri bergidik ngeri, tetapi kuakui dia cukup kuat karena enggak menangis. Soalnya, dia masih sekolah dasar kala itu. Namun, hal yang membuatku dongkol adalah manusia yang bernama sudut pandang vina ini masih memanjakan si telinga dengan earphone untuk mendengar lagu terlalu sering.

Bayangkan saja, betapa sabarnya aku singgah dan menjadi mata bagi sudut pandang vina. 

Ah, iya. Semenjak itu akhirnya aku harus berlindung di balik sebuah lensa berbingkai. Jujur, awalnya membuat hari-hari jadi semakin pusing dan yhaa agak norak. Namun, bagaimanapun itu cukup membantuku untuk menangkap objek di sekitar dengan baik. Supaya manusia satu ini, dapat melihat dengan baik. Harapannya, semoga gangguan ini akan segera membaik dan kalau perlu enggak usah berlama-lama menjadikan alat bernama kacamata ini sebagai pelindungku.

Namun, harapan tinggallah harapan, sampai saat ini, pun, tetap saja alat yang menyebalkan itu masih membingkai di wajah si cantik ini. Bahkan, lensa yang tadinya tipis, semakin menebal. Aku benar-benar mesti melengos setiap kali harus datang ke optik. Hal yang paling menyebalkan adalah, cuitan Mbak-Mbak optik yang iba, begini katanya, “Ya ampun, Mbak, kasian banget mana masih muda.”

Cukup terakhir kali itu aja ya, Vin, ke tempat terkutuk tadi. Nyebelin banget dengernya seolah-olah kayak parah banget. Meskipun mata enggak punya hati, tetapi aku juga punya perasaan, tahu?! Ada lagi hal nyebelin, ketika orang-orang sekitar berlagak jadi pakar nomor. Dengan polosnya menyodorkan jarinya menjumlahkan sebuah angka. Begini katanya, “Ini berapa? Keliatan enggak?”

Sebentar, aku olah napas lebih dulu, ya. Aku enggak boleh emosian karena itu tugas hati yang saat ini sedang enggak bisa diganggu. Pertama, hei manusia, aku ini masih bisa melihat meski enggak sejelas itu. Kedua, begini ya wahai manusia yang baik hati, ketika kalian tahu aku enggak dapat melihat dengan baik, mengapa mesti menuntaskan penasaran dengan hal yang jelas-jelas enggak bisa kujawab?

Awalnya, sih, sebagai mata aku masih bisa sabar. Akan tetapi, lama-kelamaan kok makin jengah, ya? Kalau dipikir-pikir, lumayan menyesal juga membiarkan sudut pandang vina memaksakan diri untuk menggangguku dengan membaca gelap-gelapan yang mana akhirnya saat ini enggak bisa membaca buku fisik bahkan di saat terang. Fyuh, daripada menyesal aku saat ini lebih suka bersyukur masih dapat melihat saja itu udah baik.

Namun, aku lumayan penasaran tentang apa sih yang terjadi denganku. Memgapa akhirnya aku kini sudah menyandamg dua nama belakang, yakni minus dan silinder. Awalnya aku tahunya minus itu rabun jauh dan silinder itu enggak bisa menitikkan fokus. Nah, supaya tulisan ini enggak hanya sekadang keluh kesahku, aku akan mencoba mencari-cari apa itu mata minus dan silinder, sebab dan akibatnya. 

Mata minus biasa disebut juga dengan rabun jsuh alias enggak bisa melihat dari jauh atau yang letaknya jauh dari pandangan. Kalau orang medis sih bilangnya miopi. Faktor internal yang yang disebabkan adalah karena bola mata yang tumbuh terlalu panjang atau besar sehingga mengakibatkan sebuah cahaya jatuh tepat di depan retina, bukan pada permukaannya.

Hal-hal yang dapat membuat kalian para manusia menjadi penderita miopi adalah membaca terlalu laman dan dalam pencahayaan yang remang atau gelap. Interaksi mata terhadap layar yang mengandung radiasi seperti komputer ataupun gawai terlalu lama dan terlalu dekat. Atau bisa juga karena fsktor genetik.

Kalau kalian merasa mata sudah melihat objek seperti pada kabur dan sering menyipitkan mata ketika melihat objek yang jauh. Yok, segera bawa matamu ke optik terdekat dan semoga Mbak-Mbak optiknya enggak nyebelin, ya!

Mata silinder—ternyata setelah berselancar di Mbak Google—adalah gabungan dari dua jenis rabun yaitu jauh (minus) dan dekat (plus). Orang medis menyebutnya astigmatisme. Penderita akan merasa kesulitan karena enggak bisa melihat dengan jelas baik jauh maupun dekat.

Hal itu terjadi karena bentuk kornea yang enggak membentuk cembungan dengan sempurna. Nah pada kondisi tersebut akan menyebabkan sinar yang masuk ke kornea enggak bisa jatuh fokus pada satu titik di retina sehingga mengakibatkan pandangan jadi kabur. 

Entah ini fun fact atau weird fact, sebagai blasteran dari miopi dan astigmatisme, percaya deh, aku dapat membuat objek yang hanya satu menjadi dua. Ajaib, kan? Hal itu terjadi ketika bolaku dan bola kembaranku bergerak enggak kompak. Contohnya, ketika aku (sebelah kanan) tengah menatap lurus, tetapi kembaranku justru melipir mojok ke kiri. Fokus yang tadinya hanya satu berubah menjadi dua.

Ya, walaupun kadang-kadang suka merasa bersalah karena kalau jalan suka nabrak dan mesti hati-hati, tetapi ya—ah sudahlah. Pada akhirnya, aku harus menyerahkan diri pada keadaan dan mensyukuri apa yang tengah terjadi saat ini, ‘kan? Harapannya semoga kalian yang membaca tulisan ini dapat mengambil pelajaran untuk dapat mencegah diri dari kelainan mata yang absurd ini. Serius deh, enggak enak karena aktivitas di luar amat terganggu, nyari kerja udah susah makin susah nantinya.

Nah, sekian dari aku ssbagai mata ingin pamit undur diri. Terima kasih untuk jari-jari yang sudah membantu berkeluh kesah. Oh, iya, next-nya kalian mau dengerin keluh kisah organ mana lagi?


Next Post Previous Post
2 Comments
  • Amelia
    Amelia 11 September 2022 pukul 22.00

    Ya, gara gara baca blog ini aku jadi belajar tentang pentingnya kesehatan mata. Justru perbuatan yang sepele itulah yang bisa menimbulkan dampak yang fatal. Terima kasih kak, sudah memberikan pelajaran dari pengalaman kakak

    • sudut pandang vina
      sudut pandang vina 12 September 2022 pukul 00.07

      Ya ampun, iya betul banget, Mel. Kita pun mesti aware sama hal kecil yang suka dianggap sepele. Nyatanya, banyak banget hal yang disepelekan jadi masalah buat kita.

Add Comment
comment url