Seperti Air yang Memantul tanpa Kembali ke Tanah [Prosa Fiksi]
RASANYA ENGGAN sekali untuk kembali. Tertatih-tatih ditahan ketidakinginan yang selalu datang ketika seharian telah berkutat pada aktivitas melelahkan. Dalam benak sudah menyimpulkan, kembali tidak akan mengusir lelah. Hanya akan memikul lelah dengan lelah yang lainnya.
Awan kelabu yang sejak tadi hanya berdiam diri, kini mulai melepaskan sedikit-sedikit para pasukannya. Aku sendiri masih bertahan di bangku kayu rapuh yang berada di sisi jalanan dekat rumah. Menyaksikan dengan khidmat, bagaimana pasukan air menyentuh tanah lalu memantul ke atas dan kembali jatuh hingga akhirnya melebur bersama tanah itu sendiri.
“Mbak, mau saya pinjamkan payung?”
Aku mendongak, seorang pria paruh baya dengan seragam kantor yang sudah sedikit basah berdiri di sampingku. Tangannya memegang erat gagang payung yang melindungi sebagian tubuhnya.
“Rumah saya di depan ini, jadi saya rasa Mbak lebih membutuhkan payung ini.”
Aku mengikuti arah pandang ke mana pria itu menunjuk rumah di depan yang dia maksud. Ah, ternyata rumah sederhana yang selama ini kulewati milik pria paruh baya itu. Halamannya tidak begitu luas, tetapi tanaman-tanaman di sana terawat. Ada pohon anggur di sudut halaman yang daunnya menjuntai keluar dari pagar rumah. Ramahnya, di sana ada tulisan, ‘Boleh memetik satu anggur satu orang, asal sisakan untuk pemilik rumah, ya.’. Menggelitik, tetapi menenangkan.
Namun, yang lebih menenangkan dan menyenangkan adalah orang-orang yang berdiri di teras rumah itu. Seorang wanita paruh baya yang manis berambut ikal wajahnya seperti orang jawa, serta dua orang anak kecil yang cantik dan rupawan. Anak perempuan itu mirip pria di sampingku, sementara anak lelaki itu persis seperti wanita berwajah manis di belakangnya. Tatapan mereka tertuju ke arahku. Hal itu sudah menjelaskan bahwa mereka adalah keluarga yang menanti menyambut kepalanya untuk kembali.
“Boleh saya pinjam? Besok saya kembalikan, Pak,” ujarku seraya menerima gagang payung berwarna abu-abu.
“Tidak masalah. Saya pulang dulu, anak istri sudah menunggu,” kata pria paruh baya itu sambil melayangkan lambaian tangan ke arah rumah itu. “Atau, kamu mau singgah lebih dulu di rumah saya?”
“Ah, tidak usah, Pak. Saya sebentar lagi akan kembali. Saya hanya ingin duduk di sini saja. Terima kasih, Pak.” Jawahan yang tepat dan cerdas, daripada aku harus menjadi orang bodoh yang membanding-bandingkan rumah itu dengan, ya, rumahku.
Ada kehangatan yang menyerbu ketika pria paruh baya itu berlari menghindari hujan dan menemui keluarganya di teras sederhana itu. Sayangnya, rasa hangat itu milik mereka, bukan milikku. Senyuman berbinar di wajah mereka hanya milik mereka. Pelukan manis di tengah hujan itu hanya milik mereka.
SambIl memaayungi diri ssendiri, aku kembali menyaksikan perseteruan rintik hujan beradu dengan tanah, yang lucunya berakhir menyatu sehingga tercipta petrikor. Keluarga tadi seperti tanah yang menerima rintikan air untuk bersama. Sementara air yang memantul menolak tanah, seperti aku yang enggan kembali.
Sampai malam telah bernaung, pasukan air telah kembali ke asalnya. Maka aku akan seperti hujan yang selalu kembali ke tempat asalnya setelah bertarung di bumi. Aku hanya harus kembali, menguatkan diri, menyingkirkan ego, bersahar untuk lebih lama lagi hingga pelangi menjadi awal yang menyenangkan untuk selalu ingin pulang dan menanti esok hari. Sebab, aku mesti mengembalikan payung milik pria tadi. Barangkali aku dapat meminjam kehangatan yang dimiliki keluarganya, ‘kan?
Menyingkirkan serpihan ego memang suatu hal yang tak mudah ya,dan harus dicoba terus sampai benar2 legowo untuk semua kondisi.
Butuh pikiran yang jernih jugaa, wkwkw.
Bagus cerpennya mba ngalir. Kehangatan keluarga memang harta yang paling berharga. Semoga kita bisa selalu bahagia yaa...
Iyupps.
ceritnya bagus banget kak, aku suka banget
Hihi, makasih, Kak Sulan. 🤍
duh menyentuh hati
Xixixi, makasihhh. 🤍
Kaa, peluk jauh...
🤍🤍🤍
Dari paragraf pertama udah kerasa feelnya. bagus kak kalau dijadiin cerita bersambung, chap pertama sudah sebagus ini.
Kalau dijadikan cerita panjang bakal kompleks banget dan aku enggak sanggup, wkwk.
Membaca cerita ini seperti meminum teh melati hangat di kala hujan gerimis. Nikmat.. Lanjutkan ceritanya, Kak.
Jangan lupa pisang gorengnya, Kak, wkwkwk.
Cerpennya bagus mba, bikin terhanyut dalam cerita. Ditunggu sambungannya.
Hihi makasih, tapi enggak ada tambahannya. 🤣
Memang tidak semua keluarga mampu memberikan kehangatan, namun hal itu bukan menjadi pembanding diri.
Lanjut Vina.. Yuk bikin series yang ngebahas keluarga
Keluarga punya ceritanya masing-y, ya, Kakk.