Emansipasi Hati [Cerpen]

ORANG-ORANG itu berkata dalam tutur yang tegas, tetapi memekakkan gendang telingaku. Mataku benar-benar diasah menjadi tajam ketika kalimat-kalimat itu bergaung dan akan terus seperti itu. Aku tahu, ada harapan agar tersampaikan pada telinga-telinga para perempuan, baik gadis maupun wanita. Akan tetapi, mereka tidak tahu bahwa apa yang mereka gaungkan tidak akan pernah sampai pada telingaku. Sungguh, aku menolak mentah-mentah akan hal yang bertolak belakang dengan prinsipku sebagai seorang perempuan, sebagai sosok gadis yang beranjak menjadi wanita. Biar kuperjelas, masalah hati tidak bisa diganggu gugat!

“Mau ke mana, Dara?”

Baru saja membalikkan tubuh, suara perempuan itu bergema dengan tidak sopan terhadap ruangan sempit ini. Sudah lama, aku amat tidak ingin untuk menjadi salah satu partisipan dengan prinsip sempitnya itu. Daripada berbalik dan mendengarkan omong kosong belaka, aku lebih suka meninggalkan tempat ini seperti biasanya. Sudah terang sekali kutunjukkan baik perilaku maupun verbal bahwa aku tidak peduli dengan perkumpulan yang mengorasikan harga diri seorang perempuan.

Menjunjung tinggi patriarki, katanya peremouan tidak seharusnya mendahului pria. Rasanya aku ingin tertawa terbahak-bahak saja, tetapi sebagai gadis yang santun, aku lebih suka untuk tidak menjejaki kaki di sini. Maunya sih, aku tidak ingin kembali lagi ke sini. Akan tetapi, aku lebih baik ke perkumpulan ini daripada harus mendengar rentetan yang memukul-mukul seluru indraku. Ya, meskipun akhirnya aku tidak akan bertahan lama juga.

Setelah menemukan udara segar di luar, dengan rakus kuhirup kuat-kuat dan udara itu akan membersihkan rasa penat yang memupuk dalam tubuhku. Setelah merasakan udara menampung, kukeluarkan pelan-pelan membiarkan udara membawa pergi kepenatan yang hakiki. Setidaknya hal ini sudah menjadi rutinitas pasca melarikan diri dari perkumpulan yang mengintimadasi soal perasaan. Sebenarnya, sudah sejak lama aku ingin hengkang saja dari kampung ini. Tentu saja itu adalah pilihan yang tidak bisa dikedepankan. Bukan masalah aku lahir dan besar di sini, melainkan ada hati yang sedang kuperjuangkan. Ya, memang itu, aku tidak peduli ketika orang-orang menjuluki aku sebagai budak cinta. Menurutku, aku bukanlah budak cinta, melainkan pejuang cinta. Sebab, aku punya perasaan yang mesti diperjuangkan. Beginilah caraku menerdekakan hatiku sendiri.

“Kabur lagi?”

Hampir saja aku melompat kalau pertahanan diriku tidak kuat. Kuurungkan niat untuk memaki pemilik suara tadi karena mendapati Baskara di atas sepeda yang ditopang dengan kedua kakinya. Rasanya jantungku mau melompat, bukan karena terkejut, melainkan karena kehadirannya di sekitarku. Secara otomatis kutegakkan punggung dan melempar senyum kalem ke Baskara.

“Maaf, ya, Bas. Bisa enggak datengnya jangan tiba-tiba sampe bikin jantung aku mau loncat.”

Pelan-pelan saja, tidak perlu terburu-buru untuk mengutarakan perasaan yang sesungguhnya atau sasaran akan kena mental. Harapannya, Baskara dapat menangkap pesan tersirat dari kalimatku tadi. Bahwa perasaan ini hadir secara tiba-tiba dan membuat jantung selalu berdetak tidak karuan ketika lelaki si pemilik senyuman manis ini berada di sekitarku.

“Ibuku masih di dalam, ya?” tanya Baskara seraya turun dari sepeda dan membawanya ke halaman sebuah rumah tempat perkumpulan para perempuan-perempuan di kampung ini.

Aku mengangguk malas dan menjawab, “Masih.”

Baskara melirikku geli, dia akan selalu seperti itu jika membicarakan ibunya kepadaku. Itu dia masalahnya, salah satu pentolan menyebalkan di perkumpulan-pengintimidasi-perasaan-perempuan ini adaalh ibunya Baskara. Iya, yang tadi menghentikanku untuk angkat dari sana. Untuk yang satu ini, jangan suruh aku dekati ibunya baru anaknya. Jika saja aku dan ibunya Baskara punya prinsip yang sama, pasti akan kuusahakan mengambil hati ibu sekaligus anaknya tersebut. Sesenang-senangnya aku bertemu Baskara, jika sudah membahas persoalan ibunya dan pekumpulannya itu wajahku akan berubah kusut.

“Mau ikut masuk?” tawar Baskara ketika lelaki itu sudah berdiri di ambang pintu dengan membawa satu plastik berisi kotak besar. Dia menatapku lurus sampai-sampai aku merasa meleleh seperti lilin.

Cepat-cepat kubuang wajahku dan menim#ang-nimang. Antara mengikuti Baskara supaya tetap berada lebih lama di sisi lelaki itu dengan memasang wajah tembok karena berani masuk ke sana lagi atau pergi saja dari sini. Tentunya, hati dan pikiran tidak sedang kondusif karena terjadi perdebatan singkat. Sementara, Baskara masih berdiri di tempatnya, baiklah mari kita pasang muka tembok.

“Selamat sore Ibu-ibu dan Mbak-mbak sekalian.” Situasi ruangan yang tadinya sedikit riuh berubah hening ketika suara Baskara menyita perhatian mereka. Nah, lihat wajah-wajah pengen itu, aku yakin sekali dalam hati mereka amat mendambakan Baskara, lelaki paling mantap di kampungku. Aku berdesis sinis, dasar pembohong.

“Ini saya bawain kue basah buatan Ibuk Inggit,” ujar Baskara seraya meletakkan kotak kue tersebut di atas meja yang dikelilingi para perempuan-perempuan. “Silakan dimakan.”

Aku sendiri hanya berdiri saja di belakang Baskara, sebagian dari mereka tidak menyadari—mungkin lebih tidak peduli akam kehadiranku di sini kecuali wanita paruh baya yang kini menatapku kesal. Ya, siapa lagi, tatapan itu akan selalu dilayangkan kepadaku dari mata ibunya Baskara.

“Nah, kedatangan anak saya ke sini juga ingin menunjukkan sesuatu, lho,” sahut ibunya Baskara setelah berdiri lalu menarik lengan anaknya untuk mendekatinya. “Kita semua tau kalau kita sebagai perempuan harus menjaga harga diri untuk tidak mengejar-ngejar seorang lelaki, bukan?”

Di tengah seruan menyetujui itu, aku mengerutkan kening. Hal ini tentu semakin bertolak belakang karena langsung menyeramg prinsipku saat ini. Jelas saja itu tidak tepat, sebagai manusia yang memerdekakan hati, dengan cepat aku menyahut, “Maaf, Bu. Kurasa itu enggak tepat karena siapa pun berhak mengutarakan perasaannya.”

Ruangan kembalihening, kali ini semua pasang mata tertuju padaku. Baiklah, aku lumayan kiku jika menjadi pusat perhatian. Namun, demi hati, demi kemerdekaan hati, demi perjuanganku untuk Baskara, aku harus menentang prinsip ini. Jujur saja, pada awalnya aku tidak mau menyalahkan atau menentang prinsip mereka, tetapi mereka tidak seharusnya memprovokasi dengan pernyataan yang amat menyiksa hati.

“Untuk yang tidak berkepentingan, silakan keluar dari sini.” Tanpa melihatku, ibunya Baksara mengucapkan hal tersebut. Tentu saja, aku sangat peka siapa yang dituju dalam kaljmat tersebut.

Tahu begitu aku harusnya mengikuti cara pikirku saja. Jika sudah begini, hatiku sendiri yang kena imbasnya. Buru-buru aku berbalik dan keluar dari pintu, tetapi perkataan Baskara membuatku menghentikan langkah.

“Dara, sebenarnya kamu enggak perlu susah payah menahan diri untuk mengutarakan perasaan kamu.”

Aku berbalik, aku tahu Baskara adalah anak lelaki satu-satunya dari pentolan perkumpulan-pengintimidasi-perasaan-perempuan, tetapi aku tidak menyangka lelaki itu sevara terang-terangan pro terhadap prinsip tersebut. Baru saja aku ingin membuka suara, Baskara sudah lebih dulu angkat bicara.

“Karena aku yang akan mengutarakan perasaanku sama kamu lebih dulu,”

Aku tadinya mau memarahi lelaki itu,tetapi amarah itu telah memuai dan verganti jadi seruan sorak sorai dari penghuni hati. Sementara otakku masih belum memahami secara jernih sampai Baskara melangkah ke arahku dan bertanya, “Mau jadi teman hidupku?”

Antara senang dan sedikit tidak puas karena bukan aku yang mengutarakannya lebih dulu. Sesungguhnya sudah dari kemarin-kemarin kukatakan saja, tetapi terus diuurungkan mengingat ibunya adalah salah satu pentolan perkumpulan-pengintimidasi-perasaan-perempuan. Namun, aku memahami, bagaimanapun Baskara harus menjaga martabat ibunya di hadapan banyak orang. Paling tidak, semua usahaku untuk memberi kode dan perhatian lebih padanya dapat ditangkap dengan baik oleh Baskara.

Hal itu harusnya cukup menjadi bukti bahwa siapa pun berhak memperjuangkan perasaan dan hatinya dengan cara yang sehat. Tidak akan ada harga diri yang runtuh selama kita sebagai perempuan mengetahui asam garam sebuah perjuangan. Besoknya, kampung dihebohkan dengan seorang perempuan yang menentang pentolan perkumpulan-pengintimidasi-perasaan-perempuan telah menjadi calon menantunya.


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url