Ketika Dia Tidak Lagi Mencintai Kita

KETIKA KOMITMEN  udah enggak bisa berjalan beriringan lagi. Salah satunya memilih untuk melepaskan, konon katanya, komitmen telah dibuyarkan sepihak akibat suatu konflik yang klise, tetapi enggak sepele. Setelah melalui hari bersama-sama, kata-kata dan ucapan manis teruntai. Aroma kasih yang beberapa waktu menguar di antara keduanya, melalang buana, mungkin siapa pun seperti ingin gigit jari. Namun, suatu hal akhirnya membuat semua itu kandas, pertahanannya runtuh, kata-kata dan ucapan udah berganti menjadi singut dan pelik. Aroma kasih telah buyar, berperang satu sama lain, meski salah satunya meminta untuk berupaya mempersatukan aroma yang berserakan.

Pernah enggak sih, kamu merasa hal seperti itu ketika menjalani sebuah komitmen? Tentang kalian yang berjanji untuk selalu bersama, tetapi akhirnya sebuah konflik mengingkari janji tersebut. Mari kita ambil dari sebuah konflik dari kisah nyata yang akhir-akhir ini tengah terjadi dan tentu saja menarik untuk dibahas di sini. Tujuannya sebagai pembelajaran dan teman-teman yang mungkin memiliki kisah sama meski duduk perkaranya berbeda, bisa untuk merenungi. Oke, konfliknya begini, sepasang kekasih akhirnya berpisah secara sepihak. Iya, salah satu diputusin karena pasangannya terlalu posesif. Sementara, yang diputusin enggak mau putus dan berusaha untuk meminta bersama kembali. Akan tetapi, akses untuk menghubungi sang mantan udah diblokir.

Klise, tetapi jadi sebuah masalah besar karena konfliknya enggak sampai di situ. Lalu apa?

Gadis cantik—yang diputusin pasangannya—tidak terima diputusin karena masih sayang dan belum bisa merelakan. Akhirnya, dia berusaha keras untuk bertemu, dengan cara apa pun, untuk membicarakan masalahnya dengan tujuan balikan lagi. Di sisi lain, lelakinya ini udah ketok palu seraya mengucapkan, “Kita putus!” dan akan selalu mengeluarkan jurus menghindar jika gadis itu memaksa bertemu atau tiba-tiba ada di depan rumah. Masalahnya adalah gadis cantik ini, tanpa disadari telah menyakiti dirinya sendiri karena telah memaksa sang mantan untuk kembali, sementara sang mantan udah enggak bisa lagi. Mungkin upaya dan usahanya enggak salah, tetapi tujuannya salah. Kenapa? Gadis itu ingin bertemu dan bicara baik-baik dengan tujuan untuk kembali bersama. Padahal, kemnali bersama enggak selalu jadi keputusan terbaik, bisa jadi merelakan dan melepas adalah keputusan paling terbaik, 'kan?

Maksudku adalah, sebuah komitmen enggak akan kokoh kalau kedewasaan enggak diikutsertakan. Posesif sebenarnya wajar, ya, tetapi terlalu posesif juga akan meracuni sebuah komitmen. Kadang-kadang, kita perlu instrospeksi diri lebih dulu. Kesalahan apa yang telah dilakukan sampai sebuah komitmen dapat runtuh? Sebenarnya, walaupun posisinya kita tidak bersalah sekali pun, enggak apa-apa juga kok untuk instrospeksi diri sebagai pembelajaran dan langkah untuk ke depannya supaya enggak salah lagi ketika memilih langkah. Memaksa dan menuntut untuk bersama bukanlah sebuah solusi manis, melainkan solusi egois. Selain membuat keseharian sang mantan tidak nyaman dengan terus berusaha ditemui, sementara sang mantan enggak mau bertemu lagi. Di sisi lain, kita telah menyakiti diri sendiri dengan melakukan hal tersebut. Kita semakin mematahkan hati kita sendiri dengan berharap lebih, sampai-sampai enggak bisa berpikir jernih. Taunya hanya keinginan tado harus didapatkan kembali. 

Enggak bisa seperti itu. Aku selalu bilang kalau sebuah hubungan itu terjadi karena dua orang yang saling mencintai, tetapi ketika cinta itu salah satunya telah terkikis? Hubungan tinggallah hubungan, enggak ada yang perlu diharapkan lagi selain belajar.

Nah, artinya adalah, kita mesti paham porsi mencintai itu harus seberapa dan bagaimana mengendalikannya. Hubungan enggak selalu membutuhkan cinta yang kuat, tetapi kedewasaan dan bijak juga punya andil besar supaya enggak menyusahkan diri sendiri. Kita harus belajar berjiwa besar untuk melepaskan dan rela. Jangan kekanak-kanakkan dengan memilih menjadi egois karena—lagi-lagi—itu hanya akan menyakiti diri sendiri. Kita juga mesti belajar bahwa tidak semua keinginan dapat kita raih, apalagi keinginan itu hanya akan meracuni diri dan berpotensi tersebar. Alih-alih berupaya untuk menemui yang selalu menghindar, mengapa enggak mencoba untuk berhenti dan mempelajari dari konflik tersebut?

Coba deh kita mulai berpikir, terlepas dari apakah ini kesalahan kita atau bukan. Akan tetapi, enggak ada salahnya untuk memikirkan seperti mungkin dia bukan untuk kita. Mungkin aja kebersamaan yang singkat ini hanya untuk membuat kita jadi belajar supaya ke depannya lebih memahami tentang apa yang harus dilakukan dan yang sebaiknya dihindari. Suatu saat, akan ada kisah lain dengan sosok lain yang akan membuat kita lebih bahagia—tentu dengan enggak terlalu posesif dan enggak egois. Tentang saling mengerti, memahami, dan memerdekakan. Sebab, sebuah hubungan itu bukan tentang keterikatan yang justru malah menyempitkan ruang kebebasan berekspresi dan berkreasi. Sebuah hubungan yang baik harus saling memerdekakan sebuah kebebasan. Kebebasan di sini maksudnya adalah terkait hobi, minat, ataupun bakat yang tengah diemban atau kegiatan lainnya. Jangan dibatasi, jadilah support system yang baik untuknya.

Intinya adalah jangan mau jadi budak cinta, tetapi jadilah teman dari cinta itu sendiri. Dewasalah dalam mencintai, cinta itu enggak melulu perihal mengejar, tetapi belajar. Dan ketika dia udah enggak mencintai kita lagi, maka kita perlu belajar untuk enggak mencintainya lagi. 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url