Cinta Cerita Pendek

**

Ehm, aku Salsa. Sudah lama menjomlo, tepatnya memberi jeda pada ruang hati yang jatuh sakit sebab dipatahkan oleh seseorang—aku tidak mau menyebut namanya. Lupakan soal luka itu. Yang akan kujelaskan adalah aku sedang jatuh cinta pada seorang pria baik, perhatian padaku. Kenapa? Mau bilang aku baperan. Iya, aku memang seperti itu. Memangnya salah jika aku jatuh cinta? Aku tahu pria ini pasti baik dan perhatian juga terhadap orang lain. Justru, itu yang aku suka darinya. Dia lembut, tidak pernah meninggikan ucapannya jika kami berbeda pendapat. Sebaliknya, dia mencoba mendengarkanku dan mencari jalan tengah. Dewasa sekali, ya, dia? Bahkan untuk menyebut namanya saja jantungku ikut berdegup malu-malu. 

“Dandi!”

Pria itu mengembangkan senyuman ketika dia berhasil menemukanku di tengah-tengah kafe di mana tempat kami janjian, jika bertemu dengannya, tugas terberatku adalah menetralisir gerak jantung yang mulai tidak terkontrol semenjak Dandi tertangkap oleh penglihatanku. Kafe ini cukup dingin mengingat cuaca di luar tengah hujan gerimis. Namun ketika Dandi duduk di hadapanku masih dengan senyuman manisnya itu, panas dingin menyerang tubuhku. 

Ya Tuhan, kuatkan hamba! 

“Gimana, Sal?”

Kuambil sebuah buku tulis dan pulpen di dalam tas. “Bisa bantu aku bikin cerita pendek? Eum, bukan minta bikinin. Tapi ajarin aku. Kamu tahu, aku cukup lemah di pelajaran ini.” Aku mendesis pelan. 

Dandi mengangguk dan melepas jaket yang menyembunyikan seragam batik khas sekolahnya. Omong-omong, kami beda sekolah, pertemuan kami pun terjadi karena aku menemani sahabatku daftar lomba baca puisi di tempat Dandi sekolah, saat itu Dandi sebagai panitia pendaftaran. Singkat cerita, ketika aku habis dari toilet lalu tersasar dan bertemu dengannya. Selanjutnya kami saling bertukar kontak dan pertemanan kami sudah berlangsung selama hampir enam bulan sampai saat ini. Sejenak dia menyisir rambut hitam tebalnya yang basah karena hujan ke belakang. Aku menahan napas, yang barusan itu benar-benar membuatku hampir hilang fokus jika saja Dandi tidak meraih buku tulis dan pulpen di atasnya. 

Okay, temanya apa?”

Itu yang aku suka dari dia. Bertanya seraya menatapku lurus seolah dia ingin masuk jauh melalui mataku lalu turun ke hati. Walaupun nyatanya aku sudah jatuh hati padanya. Namun di sisi lain aku merasa bersalah harus berbohong karena tugas cerita pendek itu tidak ada, yang ada hanya aku yang ingin selalu bertemu dengannya. Maaf, Dandi. 

“Tentang cinta. Kamu pasti pernah dong jatuh cinta.” Aku tertawa pelan, tidak mau munafik aku pun berharap dia memiliki rasa yang sama denganku. “Atau, bisa saja kamu sedang jatuh cinta?” Bagus, Sal. Pancing terus! Untungnya Dandi bukan tipe pria yang cepat menangkap kata tersirat. 

Dandi hanya tersenyum tipis. Dia tidak menjawab pertanyaanku! Aku menyesali pertanyaan barusan. Kalau dia tidak sedang jatuh cinta pasti dia akan menjawab tidak, tapi jika diam saja, apa itu artinya sebaliknya? Dan jika benar, dengan siapa dia jatuh cinta?! Hatiku mendadak mencelos seperti balon yang meledak setelah disentuh lembut dengan ujung jarum pentul. Aku menghela napas. 

Salsa bodoh banget, sih! Lihat, siapa suruh banyak berharap?! 

“Kalau kamu sendiri? Sudah menemukan hati yang baru, belum?”

Aku yang tadinya menunduk dalam, kini mendongak cepat. “Aku?”

Dandi mengangguk. Aku berpikir. Aku tahu, ini bukan saatnya untuk mengungkapkan langsung perasaanku padanya. Sebenarnya bisa saja aku bilang itu sekarang, tapi, ini terlalu cepat. Pun, aku tidak mau akan ada dinding yang menghalangi kami untuk terus bersama-meski sebagai teman. Untuk saat ini, biarkan aku bisa menikmati waktu bersama Dandi dengan menepikan perasaanku. Percayalah, aku tidak mau menghilangkan kenyamanan yang kudapatkan ketika berada di sekitar Dandi. Sungguh aku tidak siap akan hal itu. 

“Udah belum, ya?” Aku pura-pura berpikir dan bertopang dagu. Tapi, aku ingin tahu reaksi Dandi atas jawabanku selanjutnya. “Udah.”

Aku mengulum senyum, memberanikan diri menatap balik Dandi. Kudapati perubahan air muka yang sedikit kontras dengan sebelumnya. Jika tadi senyum tipis setia mengukir wajahnya, kini semakin terkikis dan menyisakan bibir bergaris tipis. Sorot matanya pun sulit untuk diartikan, dalam beberapa saat kami saling bersitatap. Detik selanjutnya, senyum Dandi kembali. Tapi satu yang tidak ikut berubah, sorot mata yang menyiratkan kesedihan. 

Apa dia cemburu

Perlahan, bunga-bunga di hatiku yang layu kini bermekaran. Asumsiku barusan berhasil menyiram dengan baik. Tapi segera kutepis, bisa saja reaksi Dandi tadi bermakna reaksi lain, kan? Atau aku yang halu? 

Huh! Berhenti berharap, Sal!

“Sal?”

Suara Dandi menyadarkanku dari pikiran yang labil. Aku mendongak dan tersenyum tipis. “Ya? Sorry, tadi kamu ngomong apa?”

Dandi terdiam sejenak seperti memikirkan sesuatu. Kemudian, Dandi meletakkan pulpen ke dalam buku dan menutupnya. “Besok cerpennya udah selesai. Besok malam kita ketemu lagi di sini, ya?”

Dahiku menyatu sehingga menciptakan lipatan tipis, mataku pun menyipit. Besok? Aku menggeleng, ragu. Jika Dandi yang mengerjakan tugasku, aku merasa tidak enak. Di sisi lain, aku ingin bertemu dia setiap hari—mengingat Dandi akhir-akhir ini sibuk dengan kegiatan eskulnya. Lagipula tugas cerpen ini hanya sebagai sarana diriku untuk bisa bertemu dengan Dandi.

“Tapi Dan, ini kan tugas aku. Aku enggak mau, kegiatan kamu terganggu karena tugas aku.”

“Kebetulan lagi longgar, kok, Sal. Kamu tenang aja, aku bakal tetap ajarin kamu.” 

Benar juga. Itu artinya waktuku bersama Dandi akan semakin lama! Tentu saja aku setuju dan mengangguk cepat. Lalu, dengan spontan aku berseru, “Kamu benar banget!” Lalu selanjutnya bergerak cepat menutup mulut.

“Benar apanya, hm?”

Aku meringis dan merutuki perkataan  spontan barusan. Jika sudah begini aku harus mencari jawaban yang ttepat “Maksudku, memangnya kamu benar mau bikinin cerpen aku?”

Dandi terkekeh. “Kita udah enam bulan bersama, kamu masih enggak enakan sama aku?”

Apa katanya? Aku terdiam kala Dandi mulai memajukan wajahnya mengikis jarak di antara kami. Tidak begitu dekat, setidaknya ada sekitar dua jengkal. Namun tetap saja, aroma napas yang mebaur bersama parfum khasnya sampai mengetuk penciunanku. Aku betulan tidak bisa fokus. 

“Bagaimana kalau mulai sekarang saling mendekat satu sama lain? Lebih dekat dari kedekatan kita sebelumnya?”

Apa dia barusan menyiratkan makna lain dari menyatakan perasaan yang sesungguhnya? Tapi mana mungkin, kan, dia betulan suka kepadaku? Tapi aku tidak mau berharap terlalu tinggi. Ya ampun! Hari ini pria itu benar-benar membuatku seperti bertarung di roller coaster! 

“M-maksud kamu?” tanyaku seolah tidak mengerti. Ralat, aku memang tidak mengerti. 

Selanjutnya suara tawa terdengar daripada jawaban yang harapkan. Dandi tergelak setelah memundurkan ttubuhnya, kembali memberi jarak jauh di antara kami. Aku melongo. Aku pun tak sadar mulutku hampir mmenganga. Apa yang lucu? 

“Dan, kenapa, sih? Kok ketawa?”

Aku membiarkan  sampai Dandi meredakan tawanya. Dia kembali ke posisi awal. Untungnya suasana kafe sepi dan hanya ada dua pengunjung di sudut ruangan. Mengingat sore-sore hujan seperti ini membuat siapa pun enggan ke manapun. 

“Maaf, Sal,” ucap Dandi dengan sisa tawanya. “Wajah kamu lucu, eum manis, cantik.”

Dengar apa katanya barusan? 

**
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url