Bu, Jangan Penuhi Mauku

**

"Dek, Mbak udah bilang ibu enggak bisa pulang!"

Baru pulang kerja dan lelah, Kira langsung disembur pertanyaan yang sama seperti kemarin-kemarin oleh sang adik, Zira. Kira masuk ke kamar dan merebahkan diri di atas ranjang. Zira sendiri berjalan masuk membuka tirai yang menghalangi pintu dan duduk di samping Kira. Kira mengembus kesal, jika dia punya uang, akan memberi pintu pada kamarnya sendiri. 

"Ibu bilang akan pulang, Mbak. Zira enggak bohong!" Remaja perempuan itu terus mengatakan yang dia yakinkan. 

Kira memejamkan mata, mencoba menulikan telinga dari apa-apa yang berkaitan dengan Ibu. Sungguh, perempuan yang hampir memasuki usia kepala tiga itu dibuat muak dalam beberapa tahun terakhir ini. Semuanya terjadi ketika Zira iri dengan salah satu teman sekolahnya menceritakan sosok Ibu yang penuh kasih sayang. Kita sendiri sudah berusaha melakukan layaknya seorang Ibu pada Zira. Namun, Zira masih terus menginginkan sosok Ibu. 

"Siti bilang—"

"Siti bilang apa lagi sama kamu, Zira?" Kira mendudukkan setengah tubuh lalu menghadap Zira. Lagi-lagi nama Siti dibawa ke dalam interaksi bersama nama Ibu. Di bawah lampu temaram, Kira menatap lurus pada Zira. Menyalurkan betapa muak dirinya terus ditodorkan pertanyaan serupa. "Siti pamerin ibunya ke kamu? Ibunya meluk dan cium dia pas tidur? Baca dongeng buat dia? Kasih apa pun yang dia mau?"

Hampir membentak, tapi ditahan. Kira tidak mau melukai Zira dengan teriakannya sendiri. Namun, hatinya dibuat penuh dengan kesal, marah, lelah, jenuh. Telinganya semakin tebal dengan nama-nama yang sama setiap hari. Lingkar mata terkadang membengkak, menangis setiap malam. Kira rela melakukan itu semua asal Zira tidak terluka. 

Zira terdiam. Wajah bulat itu semakin sendu. Mata sipitnya balas menatap Kira dengan bendungan air mata. Bibir pucat milik Zira menipis, menahan agar air dari matanya tidak mengaliri pipi tirus. Sesekali dia menggigit bibir bagian dalam ketika merasakan setetes air mata menggantung pada bulu mata. 

Kira membuang muka. Dia tidak boleh terus-menerus menatap wajah Zira atau hatinya akan sesak. Rasa bersalah kian menyergap relung jiwa. Kilasan tentang puing-puing di masa lalu seolah menyatu, memperlihatkan betapa bodoh dia di masa itu. Kira beranjak dari ranjang. 

"Mbak mau mandi. Mbak capek, mau istirahat. Kamu tidur, besok sekolah."

"Aku mimpi Ibu akan pulang. Ibu akan ajak kita pergi kalau Ibu banyak uang!" Zira masih terus membicarakan hal yang sama. Dia menarik napas berharap air mata bisa diajak kerja sama. Setidaknya dia harus meyakinkan pada kakak perempuannya itu, bahwa Ibu memang akan pulang. 

Kira tidak menggubris. Dia membuka lemari yang telah reyot dimakan lumut, meraih baju longgar dan celana dasar selutut. Diabaikannya Zira yang berjalan mengikuti, masih dengan celotehannya. 

"Uang Ibu hampir banyak, Mbak!"

Kira keluar dari kamar, dan berjalan ke arah dapur yang tepat berasa di samping kamarnya. Di sudut dapur terdapat pintu kayu yang merupakan kamar mandi. Langkahnya menuju kamar mandi tanpa menghiraukan Zira. 

"Ibu bilang, dia akan ajak kita ke dufan!"

Kali ini Kira menghentikan langkah kaki. Satu kata yang berhasil membuat hatinya mencelos. Bayangan masa lalu hadir lagi. Masa di mana dirinya masih remaja—seusia Zira sekarang—kala itu, Zira masih TK. Enam belas tahun yang lalu, ketika dia sendiri yang membuat masa lalu itu buruk. 

"Aku mau ke dufan, Bu!"

Remaja berambut panjang itu menarik ujung baju sang ibu yang tengah menjait dress milik Zira yang diberikan oleh tetangga. Wanita paruh baya itu hanya mengulas senyum dan mengelus puncak kepala Kira pelan. Membiarkan anak sulungnya terus meraungkan keinginannya. 

"Eka bilang ke dufan itu asyik dan seru! Dia naik bianglala, komedi putar, terus Ibu, Eka dibelikan boneka di istana boneka dufan! Ibu mau belikan?"

Zira yang mendengar sang kakak menyebutkan wahana di dufan menjadi tertarik dan ikut berdiri di samping Kira. "Zira juga mau!"

Masih dengan seulas senyum sama, sang Ibu hanya mengangguk sekali. Namun angggukan itu berhasil membuat Kira dan Zira bersorak ria lalu bergerak berpelukan. Wajah anak-anaknya yang semakin riang itu berhasil meremukkan hati. Perlahan, dia membiarkan air mata mengalir. 

Beberapa hari kemudian, baru saja wanita itu pulang dari kerja, Kira dan Zira menghampiri dan menodongkan pertanyaan. Masih menanyakan hal sama tentang kapan pergi ke dufan? Jawaban sama terus dilontarkan seperti saat ini. 

"Sebentar lagi, ya?" Wanita itu memgelus pipi Kira. "Kira dan Zira, sudah makan? Ibu beliin pisang goreng, nih."

Kira melebarkan senyuman. Dalam sedetik keinginan ke dufan lenyap berganti menatap girang pada seplastik pisang goreng. Perlahan dia meraih plastik tersebut dan berlari ke dapur. Wanita paruh baya itu sedikit tenang, meski untuk sementara. Sebab esok putri sulungnya itu akan bertanya lagi. 

"Ibu?" panggil Zira. 

Ibu menunduk dan tersenyum. Dia merendahkan tubuh agar sejajar dengan Zira. "Zira mau ke dufan juga?"

Zira terdiam tampak berpikir. "Ibu kenapa enggak mau ajak Mbak Kira ke dufan?"

Senyum yang tadi terkembang kini mengempis menciptakan garis tipis. Dia menunduk. Perlahan bibirnya bergerak berkata lirih, "Ibu belum punya uang, Nak."

"Ibu tidak mungkin pinjam uang orang, mau bayar pakai apa?"

Wanita itu tahu tengah bicara pada siapa. Justru karena Zira masih kecil, anak itu masih belum mengerti akan hal ini. Sedangkan Kira remaja yang sudah mengenal kehidupan meski belum sepenuhnya. Dia tidak mampu berkata seperti itu pada Kira atau dia akan mendapat wajah sedih Kira. 

"Andai saja Bapak masih ada, Bu. Pasti Bapak akan ajak kita semua ke dufan!"

Sang Ibu yang tadinya menunduk, sontak mendongak. Dia tahu! Apa yang dia harus lakukan! Segera dia beranjak dan bergegas menuju kamar. Dirogohnya laci lemari dan meraih kotak kecil berwarna merah. Tangannya bergetar. Dia membuka setengah kotak dan menampilkan dua cincin emas. 

"Maafin Ibu, Pak."

Selanjutnya Ibu berbalik dan menemukan Zira berada di ambang pintu menatapnya bingung. Dia menghampiri dan mengelus puncak kepala Zira. "Ibu pergi sebentar, ya, Nak?"

"Mau ke mana?"

"Ibu janji akan bawa banyak uang dan besok kita akan ke dufan. Bilang sama Mbakmu, ya?"

Zira hanya mengangguk dan tersenyum memamerkan deretan gigi ompongnya. Dia tidak sabar untuk menyampaikan kabar bahagia ini pada Kira yang masih asyik bercengkrama dengan pisang goreng di dapur. 

Kira tahu, pisang goreng yang dimakan enam belas tahun lalu adalah makanan terakhir yang diberikan sang Ibu. Setelah Ibu pergi, Zira waktu itu langsung menyampaikan bahwa Ibu akan mengajak ke dufan besok. Sontak Kira sangat girang dan bahagia. Dan kebahagiaan itu adalah kebahagiaan terakhir yang dia rasakan. Pasalnya, malam-malam sekali sebuah ketukan pintu membuat Kira dan Zira senang, mereka pikir itu Ibu tapi ternyata itu Mang Joko—tetangga sebelah—yang membawa kabar duka Ibu tertabrak mobil dan meninggal di tempat. 

Saat itu dunia Kira hancur, lebih-lebih hatinya. Sampai saat ini, rasa bersalah itu masih bersarang hampir mendarah daging. Semua perandaian seolah tak berguna, dibungkam oleh penyesalan. 

"Mbak, tapi di akhir mimpi, Ibu bilang udah maafin Mbak Kira."

Runtuh sudah pertahanan Kira. Kakinya lemas hingga dia terduduk di lantai. Rasa sesak kian menjalar dan mengetuk setiap organ dalam tubuhnya. Dia menutup wajah, menyembunyikan air mata yang merebak. Pikiran dan hati yang selalu menyalahkan dirinya sendiri. Dia lelah, tapi semua itu benar-benar membuatnya terpukul. Terlebih kepada Zira. Adiknya itu harus kehilangan  sang Ibu di usia muda. Cukup sulit menjelaskan bahwa Ibu sudah tiada. Yang dia tahu Ibu hanya pergi, hanya itu yang bisa Kira sampaikan ke Zira. Akan tetapi, Zira terus ingin bertemu dengan Ibu dan memimpikan Ibu.

Kira berbalik dan memeluk Zira. "Maafin Mbak Kira, Dek."

"Mbak Kira menangis? Mbak juga kangen sama Ibu, ya? Kita susul Ibu aja gimana, Mbak? Mbak tahu Ibu di mana, 'kan?"

Kira memundurkan tubuh dan menatap Zira. Dia tidak tega melihat Zira terus seperti ini. Zira akan beranjak dewasa. Zira harus tahu. Kira mencoba tersenyum. 

"Besok kita ke tempat Ibu, ya?"

Zira sontak berteriak girang dan kembali memeluk Kira erat. "Habis bertemu Ibu. Kita ajak Ibu ke dufan, ya?"

**

Setelah melalui banyak pusara, akhirnya Kira dan Zira berhenti di salah satu pusara yang terletak di pinggir, di atasnya terdapat pohon yang meneduhkan pusara dan keduanya, mengingat siang kali ini amat terik. 

"Mbak ini kuburan siapa?" tanya Zira lalu menatap Kira bingung. 

"Kita mau ke tempat Ibu, 'kan? Enggak mungkin kita ke surga, Dek. Sementara inilah persinggahan sementara Ibu."

Kira tak mendengar Zira bersuara. Dia sudah siap jika adiknya akan berteriak tidak terima dan menangis jadinya. Biarlah Zira bereaksi seperti itu, harus belajar menerima kenyataan. Pun, dirinya juga telah menerima kenyataan bahwa Ibu pergi meski sulit untuk tidak menyalahkan diri sendiri. 

Namun ekspektasi Kira akan reaksi sang adik dipatahkan oleh perkataan Dira. "Mbak, habis ini kita enggak usah ke dufan, ya? Aku enggak mau kehilangan Mbak."

Kira menarik tangan Zira dan membawa tubuh sang adik ke dekapannya. Zira lebih dewasa darinya. Zira si kuat. "Zira, hanya dengan menatap wajahmu, rinduku dengan Ibu terbayarkan."

**
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url