Ikatan Putih di Tengah Asap
RUMAHKU KEBAKARAN! Aku sudah berteriak kepada siapa-siapa yang sekiranya berlalu-lalang di pandanganku. Tidak menyerah, bahkan aku berusaha menjejaki dari satu pintu rumah ke pintu rumah lainnya. Aku yakin sekali teriakanku sudah memekakkan telinga siapa pun, meskipun dia berada pelosok sana. Rasa lelah seperti sudah tidak ada gunanya, ada permintaan yang mesti diijabah. Siapa pun, kumohon, aku meminta tolong untuk membantuku memadamkan api di rumahku. Jangan dikira aku tidak menghubungi pemadam kebakaran, tetapi lagi-lagi hal itu hanya membuang-buang pulsa karena mereka tidak bisa menjinakkan apinya.
Aku tidak mengerti mengapa mereka tega mengabaikan apa-apa yang kukabarkan. Ini adalah kabar buruk yang butuh air untuk dipadamkan. Sementara air di rumahku sudah habis seperti air mataku yang terkuras bersama teriakan yang tidak memberikan upaya. Aku tidak ingin berhenti menangis, tidak apa-apa air mata mengering. Akan tetapi, aku benar-benar sedih tidak tertolong, aku patah hati bertubi-tubi, aku melahap api beserta luka yang tidak kunjung padam.
Berjalan gontai melalui sisi jalan, kulirik-lirik, barangkali pintu-pintu rumah yang berjejer di kanan dan kiriku terbuka. Meskipun mustahil karena sebelumnya mereka semua tidak membukanya sama sekali untukku. Mendengarkan saja tidak, aku tahu mereka tidak tuli. Kecuali rumah kayu yang ditinggali pasangan lansia dengan pendengaran yang dimakan usia, aku berusaha mengeluarkan teriakan paling maksimal, tetapi dua orang itu tidak kunjung menampakkan diri. Tega sekali mereka, mengabaikanku.
Aku mengusap pipi yang kering karena menangis satu windu. Kurasa mataku sudah seperti bola-bola. Wajahku menjadi super kusut, tidak sekusut biasanya, tetapi kusut yang benar-benar menolak untuk rapi jika disetrika. Suaraku sudah serak, perlahan-lahan habis secara sia-sia. Namun, aku masih mampu untuk tersedu-sedu. Hatiku tidak lapang, sudah menyempit dipenuhi asap-asap yang tidak kunjung berkurang. Aku berhenti di latar rumahku, apa aku harus melahap asap yang mengepul dan bergumul lagi dan lagi di dalam sana?
Aku benar-benar ingin berubah saja menjadi udara, angin, apa pun itu. Jika berkenan, ubahlah aku mejadi air yang mengalir, dengan begitu aku bisa dengan lihai membanjiri satu rumahku. Setidaknya sumber dari pada asap-asap itu akan berhenti beredar dan tidak merusak paru-paruku. Meskipun enggan, tetapi mau tidak mau kaki mesti pulang, diri ini harus pulang, dan aku akan selalu pulang di rumahku yang penuh asap ini.
“Kamu salah!”
Aku membuka pintu kayu, asap tebal masih setia di tempatnya, tetapi asap itu tidak juga mengeluarkan diri dari celah-celah pintu yang bahkan kubuka lebar-lebar.
“Aku tidak akan pernah salah, kamu tidak sadar bahwa kamulah yang patut disalahkan di sini!"
Aku tahu, aku harusnya membuka pintu lebar-lebar selamanya saja dan berharap asap tebal itu akan menikmati udara segar di luar, tetapi aku menutupnya. Setidaknya, para tetangga mengeluhkan teriakan dari rumahku.
“Wah hebat, sok jagoan ya di rumah ini? Udah mulai lihai menyalahkan prang lain!”
Perlahan, tapi pasti. Aku berjalan menunduk, sampai mataku terbelalak pun aku tidak akan bisa melihat apa pun. Asap-asap ini sudah terlalu menyamarkan bentuk rumahku. Namun, aku sudah hafal letak sudut ruangan di rumah ini. Saking sudah terlalu lama menyatu dengan asap, aku sampai dipaksa mengenal rumahku sendiri.
“Memang! Sudah semestinya aku tidak salah. Sudah jelas kamu biangnya!”
Sebenarnya aku bosan, lebih ke miris. Dua orang itu akan selalu berputar di topik dan konflik yang sama. Namun, akan selalu menghasilkan sesuatu yang buruk menjadi semakin lebih buruk. Biar kuberi tahu, mulut-mulut mereka yang tengah berfrasa tengkar itu, mengeluarkan asap sedikit demi sedikit yang lama-lama membuatku jadi sakit. Setiap hari, dua kepala yang keras seperti batu itu akan semakin berbunyi lantang karena terlalu keras sementara isinya tidak ada, kosong melompong.
“Aku tidaklah salah, apa pun itu kamu yang salah!”
Lihat saja, mata mereka menyala-nyala. Siapa pun yang melihat itu sudah pasti tahu, ada api yang berkobar di dalam diri mereka. Api yang tidak akan pernah bisa padam. Api yang menjadi sumber dari pada asap-asap racun ini. Mereka benar-benar membuatku muak. Jangan kamu pikir aku tidak melakukan tindakan. Namun, setiap tindakan tidak ada gunanya karena api itu muncul kembali. Telapak kaki mereka melekat pada lantai yang sudah dilapisi abu. Aku tahu, mereka tidak akan bisa berpisah, ada ikatan putih yang menghubungi darah mereka. Ikatan yang sudah tertutup oleh asap-asap tebal yang mereka ciptakan sendiri.
Kalau dipikir-pikir, dua orang yang tengah berlomba menggeluarkan asap ini lebih tega denganku daripda orang-orang yang tadi kutemui karena mereka menyakiti diriku beserta apa yang ada di dalam diriku dengan asap beracun tersebut. Namun, tolong, rumahku kebakaran, apa yang harus kulakukan?
Cerita kebakaran yang penggambarannya berbalut kata-kata puitis. Keren Kak,...
Iyaa rumahnya kebakaran parah
Ini deep banget sih, bukan rumah yg sedang kebakaran secara umum. Bukan. Ini tentang seseorang yang tinggal di sebuah rumah yang tak ramah, hanya ada amarah, setiap hari. Perlahan bukan hanya mereka yg harus, kita yg didalamnya juga binasa. Habis baca ini smpai habis, aku menarik napas panjang, aku tahu apa rasanya. Pengen peluk seseorang yg terperangkap di dalam sana.
Sini kak pelok akoh ajaa wkekek betul kak, adu cek cok dalem rumah saling menyalahkan udah kayak rumah kebakaran