Lima Hari bersama Hantu [5/5]

AKU NADIN, hari ini benar-benar hari buruk yang tidak diharapkan, tetapi selalu terjadi. Dalam setiap hal-hal buruk yang ada, selalu dituntut untuk bersabar. Awalnya aku berpikir bahwa kesabaran tidak ada batas, maka kujabani segala-gala yang buruk dengan kesabaran. Namun, semakin disodorkan terlalu sering, rasa muak menbuncah dan siap-siap meledak. Baru kusadari bahwa selama ini aku menahan kesabaran yang penuh. 

Dari acara dimulai sampai tribun penonton sudah kosong, mama tidak datang dalam pentas teater musikal yang kuperankan. Mama selalu berjanji, tetapi tidak pernah menepatinya. Aku menunduk dalam, menatap sepatu yang sudah kotor terkena genangan air hujan. Sementara cipratan air hujan terus-menerus melemparkan percikannya. Sekujur tubuhku yang terbungkus seragam SMA telah basah diserang pasukan air dari langit. Namun, diserang oleh janji semu bertubi-tubi jauh lebih menyakitkan. Tanganku terkepal, menggenggam harapan yang tidak jua tergapai. Kudongakkan kepala menatap lurus jalan raya tepat berada di depan gerbang sekolah. Kakiku bergerak, berlari bersama serbuan hujan yang mengetuk kepalaku berkali-kali.

Aku tahu aku tidak boleh membenci mama, aku menyayanginya seperti aku menyayangkan harapan yang selalu dipupuskan. Namun, bolehkah aku merasa kecewa? Tanganku semakin terkepal dan bergerak seirama dengan langkah kaki yang berlari tanpa arah. Mataku hanya menyorot ke depan tanpa memperhatikan dengan seksama. Aku selalu menanti-nanti kehadiran mama, tetapi mama tjdak mengindahkannya. Kapan mama akan datang?

Ketika aku berbelok ke kiri, sedikit bergeser ke tengah jalanan raya. Namun, sesuatu menabrakku dan membawaku melayang di udara. Terguling dari atas lalu menyentuh aspal dengan keras. Aku telentang tidak berdaya di atas aspal, mataku menatap langit yang masih menurunkan pasukannya. Sesuatu mengucur deras dari kepalaku. Sebelum itu suara debuman keras terdengar dari jarak dekat. Sayup-sayup suara orang lain terdengar.

“Cepat hubungi ambulan!”

Aku menengok sejenak dan menemukan sosok lelaki tergeletak dengan kepala yang sudah penuh warna merah mengenai batu besar yang bertengger di sisi jalanan.

“Lelaki ini sudah meninggal!”

Perlahan-lahan mataku tertutup. Namun, di hari buruk ini sekali lagi aku berharap mama datang boleh, ‘kan?

•••

Sejak kelopak mata ini terbuka, aku tidak henti-hentinya mengembangkan senyuman. Sejak saat itu pun, mataku tidak pernah lepas dari sosok yang pertama kali kutatap hari ini. Dia datang, mamaku akhirnya datang. Mama tengah duduk di kursi samping kanan ranjangku, tangannya dengan erat dan lembut menggenggam tanganku.

“Makasih, Mama,” ucapku lirih, aku berusaha untuk menyampaikannya.

Mama mengangguk berkali-kali, matanya sembab menangisiku satu minggu. Wajahnya tirus, tubuhnya kurus. “Mama di sini, Nak. Mama enggak akan ninggalin kamu lagi. Makasih udah bangun untuk Mama, Nak.”

Mama sudah kembali. Sekali lagi aku mau berharap mama tidak akan mengingkarinya.

Hari ini aku sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, setelah kemarin sore aku sudah dinyatakan siuman. Meskipun tubuhku masih terasa lemas, tetapi aku tidak bisa menahan rasa senangku yang bergelora. Aku tidak pernah melepaskan pandangankui sampai sebuah ketukan pintu terdengar dan terbuka. Seorang wanita keluar dari sana, kedua tangannya menggenggam sebuah parcel berisi buah-buahan. Dia menghampiriku dan berdiri di sisi ranjang sebelah kiriku.

Wanita itu mengulurkan tangan dan membelai kepalaku pelan-pelan lalu mengatakan, “Terima kasih sudah sadar ya, Nak, dan Ibu minta maaf.”

Wanita itu menatapku teduh, sama, maksudku cara mata itu memandang sama persis seperti cara mata lelaki itu menatapku. Jika kemarin-kemarin aku menemukan cemas yang menumpuk di wajah itu, kini sebagiannya telah lenyap. Namun, aku tahu mengapa masih disisakan, aku memahami betapa ibu itu menyimpan keresahan akan kepergian anak semata wayangnya. Betapa, ibu itu memiliki luka kehilangan karena Kunto tidak akan pernah bisa kembali.

Aku berpaling dan menatap sosok yang berada di sisi wanita itu. Lelaki itu di sana, bibirnya membentuk lengkungan yang ternyata manis juga. Kalau dia sering-sering seperti itu, pasti dia tidak terlihat seperti lelaki yang menjengkelkan. Dia melambaikan tangannya padaku, dia berucap, “Selamat ya sudah sadar.”

“Ibu jangan sedih, ya?” kataku lirih. “Kunto baik-baik aja di sana.”

•••

Ini adalah hari kelimaku bersama Kunto, ada yang berbeda. Mungkin beberapa ingatan masa laluku belum pulih seutuhnya, tetapi ingatan selama satu pekan ini masih terekam jelas. Amat jelas dari hari-hari luntang lantung, hari pertama bersama Kunto, hari kedua dan ketiga yang membawaku mengenal Kunto lebih dalam, hari keempat yang memberi kabar bahwa aku dan Kunto memang memiliki keterkaitan yang kuat dan pada hari itu pula sorenya aku pingsan sebagai hantu dan terbangun sebagai Nadin. Ya, perkenalkan aku adalah Nadin.

“Bun, hidup berjalan seperti bajigur~”

Aku terkekeh ketika Kunto menyenandungkan salah satu lagu milik Nadin Amizah, penyanyi yang cukup terkenal dengan karya-karyanya yang indah. “Itu Nadin Amizah, aku Nadin Azizah.”

“Sudah terlalu lama sendiri~” Kunto kembali menyenandungkan lagu, kali ini milik Kunto Aji.

“Itu Kunto Aji, bukan Kunto—eng, nama kamu Kunto siapa, ya?” tanyaku pada Kunto yang kini duduk di kursi yang yang sebelumnya ditempati mama. Sementara, mama dan ibunya Kunto pergi keluar untuk membeli makan malam.

“Kepo,” celetuk Kunto. “Omong-omong, kenapa lo masih bisa liat gue?”

Aku berdeham seraya berpikir. Aku mengedarkan pandangan dan melihat satu anak kecil berpakaian khas rumah sakit tengah berlari-lari dan seorang kakek-kakek yang sibuk berdiri mematung di sudut ruangan. Mereka bukan manusia karena kakek itu baru memunculkan diri beberapa menit lalu setelah mama pergi dan anak kecil itu menembus dari satu tembok ke tembok yang lainnya.

“Mungkin aku sekarang jadi anak indigo,” jawabku acuh tak acuh. Aku tidak begitu takut sih, anggaplah selama satu minggu ini aku sudah latihan diri melihat makhluk-makhluk yang tidak bernyawa.

“Nadin,” panggil Kunto pelan. Dengan mata teduhnya, pasangan itu jatuh tepat di mataku. “Maafin gue, ya.”

“Untuk?”

“Gue bikin lo celaka,” katanya pelan. Kunto mengenggam tanganku dan mengelus lembut dengan ibu jarinya.

“Justru aku harus berterima kasih, Kun, sama kamu.” Kunto mengerutkan keningnya, saat itu juga aku mengatakan, “Mungkin kalau aku enggak pernah mengalami kejadian ini, mama enggak pernah menemuiku. Jadi, makasih ya, Kun?’

Mungkin, siapa pun akan merasa terpuruk dalam keadaan yang sulit—salah satunya seperti yang kurasakan saat ini. Namun, aku percaya, Kunto pernah bilang bahwa akan selalu ada alasan baik di balik takdir yang tidak diinginkan. Lelaki itu juga mengajarkanku untuk lebih ikhlas dalam menerima apa-apa yang terjadi pada diri kita. Kunto mengajariku untuk bagaimana cara bahagia dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Kadang-kadang kita butuh untuk sejenak rehat dan mencari kesenangan agar tidak melulu terjerembab dalam keterpurukan. Ini adalah hari kelima bersama Kunto sebagai hantu dan aku sebagai manusia. Hebat dia, lima hari mampu membuatku mempelajari pelajaran hidup. Hebat dia dalam satu insiden mampu mengembangkan senyumanku. Namun, aku juga harus menerima bahwa aku dan Kunto tidak akan pernah bisa bersama. Ketika urusan Kunto selesai, saat itu juga dia akan pergi.

“Aku boleh ngomong?” tanyaku. Kurasa aku perlu mengatakannya sebelum lelaki itu benar-benar hilang seutuhnya.

“Ngomong aja, Din.”

Bagaimana cara mengatakannya, ya? Aku diam sejenak, mencoba menetralisir detak jantung yang kini berdegup kencang. Aku tahu ini bukan efek dari tidur panjangku, melainkan reaksi yang dikeluarkan ketika sebuah rasa telah tumbuh menjadi cabang-cabang yang masih baru. Namun, aku tahu, aku tidak bisa membiarkannya berkembang atau aku akan mematahkan hatiku sendiri.

“Aku suka sama kamu.”

Ya, mungkin itu terlalu cringe, tetapi itu lebih baik daripada harus memendam dan hanya akan menjadi rasa yang busuk karena tidak tersampaikan. Aku tidak peduli bagaimana resksi lelaki itu, aku hanya peduli aku sudah lega dan dapat mengungkapkan apa yang selama ini kupendam.

“Dasar anak kecil!” Kunto terkekeh. “Makasih, Din. Tapi gue harap lo enggak terlalu jauh untuk suka sama gue. Lo tau, pada akhirnya gue akan pergi juga, waktu gue udah habis, Din. Lo berhak bahagia tanpa gue.”

Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Memangnya apa lagi yang harus kukatakan? Sejak awal aku menyukai Kunto, aku tahu betul risiko yang akan terjadi dan aku akan siap menerimanya.

“Gue pergi, ya? Cepat sembuh, salam buat ibu gue. Ibu gue juga harus bahagia tanpa gue.”

Perlahan-lahan tubuh Kunto terlihat samar, tetapi senyuman itu masih terpatri. Sampai sebuah cahaya menyelimuti tubuh jangkung Kunto, dalam sekejap dia menghilang dari tempat itu. Habis sudah lima hariku bersama Kunto. Sekarang, bagaimana caraku memulai hidup bahagia tanpa Kunto?

•••


Next Post Previous Post
4 Comments
  • Nadia Rosalin
    Nadia Rosalin 17 Juli 2022 pukul 21.54

    akhirnya finish juga ya kak vina... bravo

    • sudut pandang vina
      sudut pandang vina 23 Juli 2022 pukul 23.04

      🤍🤍

  • Wince Susmira
    Wince Susmira 17 Juli 2022 pukul 23.23

    Kunto.. Oh kunto... Cerita humor dan horor.. Kereeen vina berhasil memadukan 2 genre ini..

    • sudut pandang vina
      sudut pandang vina 23 Juli 2022 pukul 23.05

      Heheee kak win jugakk

Add Comment
comment url