Lima Hari bersama Hantu [4/5]

KUNTO BERULAH, pasalnya dia memindahkanku tidur di tangkai pohon sebelah tempat perempuan berdaster putih biasa duduk. Entah sudah berapa lama aku di sini, tetapi ketika membuka mata hal pertama yang kulihat adalah wajah pucat perempuan yang berkerut, matanya berkedip seperti perempuan genit, bibirnya melebar hingga menyentuh sisi telinganya yang bolong. Namun, salah satu hal yang mengganggu dan membuatku terbangun adalah rambut panjangnya bagaikan sapu ijuk menusuk-nusuk wajahku. Pasti, aku tertidur semalaman di pangkuan perempuan ini. Sontak aku berteriak dan menegakkan tubuh. Dengan gerak spontan yang tidak seimbang, aku terjatuh di tanah yang untungnya tidak terlalu jauh dari tangkai ini. 

Di tengah-tengah aku mengaduh, terdengar suara cekikikan dari atas dan tawa membahana dari arah gardu. Memang rasanya tidak begitu sakit—untuk yang satu ini aku bersyukur menjadi hantu—tetapi amat menyakitkan dan menjengkelkan mendengar suara tawa tanpa dosa itu. Tidak lama kemudian, masih dengan sisa-sisa tawa gelinya, Kunto menghampiriku dan membantuku untuk berdiri lalu menuntunku menuju gardu.

“Enggak ada akhlak kamu, Kun. Udah jadi hantu bukannya tobat.” Aku mengelus punggung kanan dan lengan kanan yang terasa sedikit nyeri karena bagian tersebut lebih dulu menyentuh tanah. “Untung aku udah meninggal, kalo enggak tulangku bisa retak semua, tau?”

“Iya, maaf, enggak lagi deh. Lagian lo hantu tidur melulu heran gue. Kok gue enggak ada ngantuk-ngantuknya, ya?” tanyanya seraya membantu memijit lengan kananku.

“Kamu semasa hidup tukang tidur terus kali.”

Sebenarnya sejak beberapa hari lalu, saat aku dapat tertidur di hari pertama bertemu Kunto, aku merasa heran memangnya ada, ya, hantu tidur? Bukankah malam adalah waktunya bagi para hantu untuk beraktivitas? Entahlah, mungkin ini ada kaitannya dengan ingatanku yang hilang. Namun, agak susah untuk mengaitkan antara ingatan dan aku yang dapat tidur nyenyak. Sudahlah aku tidak mau memikirkannya, lebih baik aku bersyukur masih dapat merasakan tidur nyenyak.

Perlahan rasa nyeri itu berangsur menghilang dan sudah dapat digerakkan dengan leluasa. *Sebagai gantinya ajak aku ke tempat kemarin lagi, ya?”

Kunto hanya mengangguk. Hari ini adalah hari keempatku bersama Kunto, pagi-pagi dia sudah meningkatkan kejailannya dengan memindahkanku ke pangkuan perempuan berdaster putih tadi. Kutolehkan kepala untuk memastikan apakah perempuan itu masih ada di sana. Nyatanya, dia sudah berpindah di tangkai yang lebih tinggi, kali ini dia bersama sahabatnya yang sering datang. Mereka berdua tengah cekikikan menatapku. Aku membuang muka dan merengut sebal. Saat ini kondisi sekitar sudah lumayan ramai dengan para manusia yang beraktivitas. Kebanyakan dari mereka yang berlalu lalang adalah murid SMA. Mungkin di sekitar sini terdapat gedung sekolah. Aku berdiri dan melangkah ke sisi jalanan, menoleh ke kanan dan ke kiri. Sesaat pandanganku tertahan di sisi kiri. Aku menyipitkan mata, memastikan apakah itu benar-benar wanita yang kukenal?

“Kun, itu ibu kamu bukan sih?”

Dengan cekatan, dia mendekatiku, wanita itu berjalan sedikit terburu-buru ke arah kami. Maksudku, ya, dia tidak akan benar-benar menemui kami, dia akan melewati bahkan menembus kami seperti saat ini. Cepat-cepat Kunto mengikuti ibunya, begitu juga denganku. Aku cukup penasaran, pasalnya wanita itu membuat gurat wajah yang berkerut, tetapi matanya menyorotkan kelegaan. Langkahnya yang tergopoh-gopoh menuntun kami pada sebuah rumah sakit yang rerletak tidak jauh dari sini, sekitar sepuluh menitan.

Aku dan Kunto tidak berhenti mengikuti wanita tersebut, sampai akhirnya dia berhenti di depan sebuah ruangan bertuliskan ICU. Wanita itu mengambil napas kuat-kuat dan membuangnya perlahan-lahan. Setelah memastikan ada rongga yang lapang dalam dirinya, wanita membuka pintu yang langsung disambut dengan ruang tunggu. Di sana, wanita itu menghampiri seorang wanita paruh baya lain yang duduk dengan sisa tangis di wajahnya, tetapi bibirnya menyunggingkan senyum. Sementara aku dan Kunto saat ini berdiri tepat di depan kedua wanita itu.

“Bagaimana kondisi Nadin, Mbak?” ibunya Kunto merangkul wanita itu mencoba untuk menenangkan diri.

Wanita itu memgangguk dan menjawab, “Dokter bilang ada potensi untuk segera siuman, Mbak.”

Ibu Kunto terkejut sejenak sebelum akhirnya guratan tadi berubah menjadi sebuah kebahagiaan. Matanya pun sudah seutuhnya menampakkan rasa lega yang nyata. Bibir tipisnya kini mengembangkan senyuman yang sama seperti wanita itu. Tidak lama seorang perawat menghampiri dan mengatakan bahwa pasien sudah bisa ditemui. Mendengar hal tersebut, dua wanita itu buru-buru mengikuti perawat tersebut. Aku dan Kunto sama-sama mengikuti mereka dan mencari tahu apa yang sedang dilakukan ibunya Kunto di sini. Apa ada hubungannya dengan kematian Kunto?

Ibunya Kunto mempersilakan wanita itu masuk terlebih dulu untuk memasuki ruangan yang benar-benar tertutup rapat dan menunggu di luar. Kunto berjalan mengikuti wanita itu masuk dan menembus pintu tersebut. Rasa penasaranku semakin tinggi dan mengikuti Kunto. Aku melewati beberapa pasien dengan alat-alat yang melapisi tubuh mereka. Sampai aku berdiri di samping Kunto yang terpaku. Menatap lurus pada sosok pasien di depannya. Aku mengikuti arah pandangnya, saat itu juga aku bereaksi yang sama seperti Kunto. Aku bergerak maju dan mendekati pasien itu.

“Kunto ... ini aku?” tanyaku pada Kunto untuk memastikan. Aku yakin betul gadis yang tengah terbaring lemas dengan mata tertutup ini mirip sekali denganku, atau memang ini aku?

Aku menoleh ke arah Kunto yang kini diam mematung melihatku. Bibirnya terkatup rapat, matanya mengatakan bahwa dia tidak baik-baik saja. Aku kembali melihat gadis ini dan wanita tadi yang kini tengah menahan tangis di samping ranjangnya. Semakin kuperhatikan, aku merasa familiar dengan wajah itu. Akan tetapi, aku sama sekali tidak mengingat apa pun.

“Nadin, Mama di sini, ya, Nak. Mama janji enggak akan ninggalin kamu lagi. Cepat sadar, ya, Nak.” Wanita itu mengelus rambut hitam pwnjang gadis itu, pelan sekali.

Diam-diam, tanpa perintahku ada beberapa titik air yang mengalir dari sudut mataku. Cepat-cepat aku menghapusnya, mengapa rasanya sesak sekali? Jika gadis ini benar-benar aku dan jika wanita itu adalah ibuku. Lalu, hal ini ada kaitannya dengan ibunya Kunto, kurasa lelaki itu mengetahui sesuatu. Namun, lelaki itu sudah tidak ada di sana entah sejak kapan. Ke mana dia?

•••

Kunto tidak ada di samping ibunya, bahkan dia tidak ada di gardu. Satu-satunya tempat yang bisa kutuju hanyalah atap gedung kemarin malam. Setelah lelah melalui beberapa tangga. Aku sampai di atap, tepatnya berada di belakang Kunto. Aku berpindah dan menempati posisi di sampingnya.

“Aku Nadin, ya?” tanyaku seraya menyipitkan mata ketika memandang langit biru.

“Ngapain di sini? Jangan ganggu gue. Sana pergi.”

Aku berdecih, sudah berapa kali lelaki itu berulah hari ini? Apa dia mau menghindar dariku dan tidak akan memberi tahu sesuatu yang dia ketahui? Aku sendiri sudah mencoba untuk mencerna keterkaitan yang terjadi, tetapi semakin dipikiran membuat kepalaku sakit. Namun, kalau aku boleh merasa bahagia, aku ingin tahu dengan jelas apa aku ini Nadin? Artinya, aku masih hidup, 'kan?

“Kamu ingat apa semalam kudoakan?” kataku. Aku tidak akan pernah beranjak dari sini sampai aku menemukan apa yang sebenarnya terjadi. “Aku mengerti, mengapa doaku masih bisa dikabulkan. Aku masih hidup. Aku Nadin, ‘kan?”

Kunto diam, tidak menjawab. Wajah dan rahangnya mengeras. Otot-otot di kepalanya seakan-akan mau meledak. Aku tahu, giginya bergemeletuk terlihat dari bibir pucatnya yang amat terkatup.

“Kunto, aku—“

“Gue bilang pergi, ya, pergi! Masih enggak ngerti juga?”

Aku tersentak, hari ini dia mengejutkanku dengan teriakan yang membuatku harus sedikit bergeser darinya. Dia menatapku marah-marah, tetapi matanya menaruh kesedihan yang mendalam. Bahu lelaki itu bergetar hebat, tangannya menggenggam erat atas tembok pembatas di sampingnya.

“Kun, kamu tau sesuatu, ‘kan? Kalau aku benar-benar Nadin, bukannya aku bisa bantu kamu?” tanyaku mencoba berkompromi.

“Enggak bisa!”

“Kenapa enggak bisa sih, Kun? Aku bisa!”

“Gue yang nabrak lo, gue yang bikin lo koma, gue yang buat sedih ibu lo, gue yang meninggalkan beban untuk ibu gue. Lo enggak bisa bantu itu, enggak bisa.”

Aku terdiam. Apakah ini alasan tuhan menemukanku dengan Kunto?

•••


Next Post Previous Post
2 Comments
  • Nita
    Nita 16 Juli 2022 pukul 21.17

    Keren Vina daya khayal tinggi, hantu juga punya Tepo seliro ya ternyata. Punya rasa ga enak sama Nadin, hehe. Lanjutkaan

    • sudut pandang vina
      sudut pandang vina 23 Juli 2022 pukul 23.06

      Hantunya masih newbie kak wkwjwj

Add Comment
comment url