Mimpi Buruk [Cerpen]

SETELAH Robert berwasiat kepada kami untuk berpencar mencari jalan keluar dan memberi nasihat supaya fokus berjalan, tidak menanggapi gangguan sekecil apa pun. Katanya, itu adalah jebakan yang dibuat Mora, penguasa kegelapan yang dikabarkan dengan rumor memiliki misi untuk memusnahkan generasi baru kubu kami, klan. 

Entah apa yang menjadi rencana busuk Mora menjadikan aku dan sahabatku yang lain terjebak dalam permainannya di dalam dreamland terkutuk. Sampai saat ini, aku masih tidak mengerti mengapa Mora begitu keukeuh untuk melenyapkan seolah-olah klanku adalah hama yang harus dibasmi. Menurutku, dia yang harusnya dibasmi. Benar-benar meresahkan. 

Aku bersama tetsnggsku si Elaine dan, adikku Edgar. Kami mengendarai sebuah kendaraan seperti becak, hanya saja becak ini dapat berjalan sendiri karena mantra yang diberikan Robert. Dia berpetuah untuk tidak hengkang sejengkal pun dari kursi ini sampai benar-benar berhenti di persinggahan yang sudah disediakan Robert. Jangan berpikir semua ini akan aman-aman saja, mengingat rencana busuk Mora saja sudah membuat jantung ketar-ketir. 

Kami melewati jalan sempit, sepi, hanya diiringi lampu tiang sorot yang menjuntai di pinggir jalan. Sementara di kedua sisi jalan, berdiri banyak sekali pohon-pohon tinggi menjulang. Kurasa kami berada di tengah-tengah hutan. Dari jarak yang semakin dekat sebuah pantulan cahaya dari taman yang—itu aneh, bagaimana bisa ada taman di tengah hutan ini? Semakin mendekat, semakin menarik perhatian. 

Di sisi kiri, membentanv sebuah taman yang luas, ditumbuhi rerumputan empuk, tidak sedikit bunga-bunga yang memamerkan kesolekannya. Sejenak aku terpukau, tetapi ini tidak baik dan sayangnya firasatky tidak enak. Bukan hanya tentang taman itu, melainkan Elaine yang memiliki ketertarikan pada bunga. Kami tidak boleh berhenti. 

"Berhenti!" 

Kabar buruk! Itu suara Elaine. Jelas tidak ada yang berhenti sampai kami benar-benar samapai pada tujuan. Namun, kensaraan ini seakan-akan mengikuti instruksi Elaine. 

Detik berikutnya, pikiranku melayang pada oetuah Robert. "Apa pun yang terjadi, meskipun itu keburukan maupun keindahan, tetap fokus. Kuberi tahu, Mora mengintai kalian semua karena wilayah ini masih dalam kekuasaan Mora. Berhati-hatilah."

Aku terdiam sejenak sampai-sampai tidak menyadari Elaine dan Edgar sudah tidak ada di tempat duduknya. Baiklah, ini benar-benar bencana. Sesuatu akan terjadi.  "El! Ed! Kembali!" Aku berteriak dan berhasil membuat mereka terhenti.

"Kemarilah! Ini pasti menyenangkan," ujar Elaine antusias. Perempuan dengan dress renda biru muda selutut itu berjingkrak. Anak itu, selain suka bunga, juga memiliki penyakit pikun yang mengerikan. 

"Kauharus ingat perkataan Robert, El!" 

Mau tidak mau, aku beranjak dari tempat dan menghampiri mereka. Sementara jantungku sudah tidak karuan lagi getarannya. Memperkirakan apa yang akan terjadi karena telah melukai petuah Robert. 

"Persetan dengan omongan si tua itu. Kautahu, bisa saja dia yang membohongi kita. Ingat pekan lalu dia telah mengkhianati Papa dan membunuh Ramea." Ed berseru.

Sejak awal, Ed tidak pernah akur dengan Robert. Kejadian pengkhianatan yang dilakukan Robert—tidak, aku yakin itu bukan pengkhianat, aku yakin Mora ada di balik itu semua. Ramea? Ya, bibi kami yang malang harus merelaksn nyawanya demi menyelamatkan Papaku, adik lelakinya. "Aku yakin itu bukan kesalahannya. Aku yakin Mora ada di balik semua ini!" 

"Sudahlah! Kalau kautidak mau. Biar aku dan Ed saja." Perempuan penggila bunga dan pikun itu kini telah berubah menjadi menjengkelkan dan rasanya ingin kucabik bibir tebalnya itu. Namun, itu tidak kulakukan karena aku hanya bisa menarik tangannya dan Ed. 

"Kumohon El, jangan mempersulit semuanya."

"Kau yang mempersulit kami, marilah El." Ed meraih tangan El yang tadi kugenggam.  Bocah-bocah tengik itu benar-benar pergi ke sana.

"Dan kalian harus tetap terus bersama. Jika salah satu dari kalian yang lepas, mati adalah pilihan kalian."

Sialnya, perkataan Robert tadi kembali membuatku harus menghadapi apa-apa yang terjadi. Apa pun itu, aku akan tetap membersamai mereka. Dalam hati aku terus menyumpah serapah, kalau-kalau sesiatu terjadi aku akan benar-benar mencabik dua anak itu. 

Cepat-cepat kuikuti langkah mereka yang menyusuti salah satu jalan yang menjadi pembelah antara rumput satu dengan yang lain. Rumput-rumput itu memiliki tinggi yang hampir sama dengsn tinggi kami, sekitar 160-an, mungkin? Memang, ini tempat yang indah kalau saja tidak berada dalam situasi dan kondisi terancam seperti ini. Namun, keberadaan taman di tengah-tengah hutan yang lebat sudah cukup kuat untuk mengklaim taman ini aneh. Bunga-bunganya harum semerbak, semilir angin malam yang nenebarkannya. Percayalah, itu tidak akan berhasil mengusir cemas. 

Keanehan itu semakin nyata ketika jalan setapak ini membawa pada sebuah tanah lapang berbemtuk lingkaran luas. Elaine dan Ed tampak tegang. Terlebih aku yang berdiri di belakang mereka. Kami telah berada di sisi lingkaran tersebut dan suasana, saat itu juga suasana berubah mencekam. Sesuatu bergerak di bawaah tanah itu menciptakan bentuk zigzag yang retak dan ujungnya berhenti di kaki kami. 

Satu hal yang membuat kami benar-benar tak berkutik. Tanah retak itu membelah perlahan-lahan, taklama dari itu sebuah pucuk bunga berwarna hitam pekat mekar tiba-tiba, bergerak tak menentu lalu berhenti cepat ketika bunga itu sudah berhadapan dengan kami meski jaraknya tudak begitu dekat. 

"Apa kubilang," desisku kesal sekaligus takut.

Ed berbalik tanpa mengatakan spa pun lalu meraih lenganku dan El untuk kembali. Namun, sesuatu yang lain muncul dari lubang dan bergerak merambat agresif, lalu melingkari pergelangan kaki Ed. Itu akar berwarna hitam dengan duri yang tajam! 

Ed berteriak kesakitan dan dibawa melayang-layang di udara oleh bunga besar yang hidup itu.

"ED!!" Apa yang harus kulakukan sekarang? El menangis di sampingku. Kurasa dia menyesali kecerobohannya. Bagus, benar-benar sebuah penyesalan. 

"Maafkan aku," El terus terisak hingga isakan itu menjadi sebuah teriakan. Aku tersentak ketika salah akar yang lainnya merambat cepat dan melilit serta menarik kaki Elaine lalu menjerumuskan ke dalam lubang yang menganga itu.

"Tidak!" Aku berteriak. Pikiranku dibuat pecah, aku ketakutan setenagh mati, di sisi lain aku menangisi keselamatan Ed dan Elaine yang terancam. 

Namun, tangan Elaine bertahan pada sebuah kayu di dinding liang tersebut.

"TOLONG!!!" Elaine berteriak ketakutan. Kini pendengaranku begitu ngilu dengan teriakan nyeri kedua orang terpentingku. Mereka sangat penting bagiku. Semenyebalkan apa pun, Ed adalah adikku dan Elaine adalah teman terbaikku. Namun, apa yang harus kulakukan untuk menyempurnakannya? 

Hingga pendengaranku menangkap suara tawa menggelegar di penjuru taman. Suara itu menyeramkan, tawanya terdengar tajam dan sinis. 

"HAHAHAHA. Kalian sangat dramatis. Bagaimana kalau kuberi pilihan?" 

Aku mengernyit dan mencoba mencari asal suara. Yang kudapati hanya Ed dan Elaine yang mencoba mencari pertolongan. Anehnya suara mereka seolah teredam dengan tawa itu, hampir tidak terdengar sama sekali. 

"Apa maksudmu? Siapa kamu?" Aku berteriak. Terdengar lagi suara tawa sebagai balasan.

"Kautidak perlu tau siapa aku. Yang harus kauketahui adalah pilihan yang akan kuberikan. Pilihan ini dapat menyelamatkan kedua orang itu, tetapi membahayakan dirimu atau pun sebaliknya." 

Menyelamatkan Ed atau Elaine lalu aku bisa selamat bersama salah satu dari mereka yang kuselamatkan. Sementara di sisi lain harus meninggalkan salah satu dari mereka mati yang tidak kuselamatkan.K ejam suara itu kejam! Siapa dia? Berani menyuruhku memilih?! Terdengar kembali suara tawa itu.

"Ayolah, jangan berpikir terlalu lama atau kedua orang itu yang akan mati!" Aku menatap keduanya. Ed dan Elaine yang masih berteriak kesakitan.

"Lagian ini salahmu juga, 'kan? Gagal menghentikan kecerobohan mereka. Ini menyenangkan." Aku menyetujui si pemilik suara yang kejam itu. Aku memejamkan mataku. Dan aku bersiap memilih.

"Biarkan mereka hidup! Kauambil saja aku!" 

Apa pun yang terjadi. Harus aku yang mengalah. Aku tidak mungkin membiarkan mereka dalam bahaya. Biarkan aku yang mengalah kali ini.

"Sesuai dugaanku. Memang kau yang harusnya mati karena kau adalah ancaman bagi kehidupanku. Kau memiliki sesuatu yangrsembunyi. Kekuatanmu itu membuatku takut. Bodohnya kautidak melatih kekuatanmu."

Kekuatan? Aku?

Hingga sebuah pelukan menghampiriku. Aku tersadar bahwa Ed dan El telah terbebas. Aku memeluk keduanya, untuk yang terakhir kalinya.

"Bagaimana bisa aku dan Ed terlepas? Apa yang kau lakukan?" tanya Elaine padaku. Apa mereka tak mendengarkan percakapanku dengan suara itu?

Hingga suara dehaman seorang wanita dari arah depan menganggu kami. Wanita itu tampak menunggu malas, dengan baju besi dan sebuah pedang yang membuatku menelan ludah.

"Sudah pelukannya? Aku menagih janji pilihan kita tadi. Kuharap kautak melupakannya." 

Jadi dia? Dia pemilik suara itu? 

"El, Ed kalian cepat pergilah dari sini dan kendarai becak itu. Selamatkan generasi kita. Apa pun yang terjadi. Aku akan kembali."E

Dengan segala upaya paksaan karena sulit meminta mereka untuk pergi dan meyakinkan bshwa sku akan kembali, meski aku tidak yakin. Ed dan El segera berlari keluar dan meninggalkanku bersama wanita itu. Wanita cantik, sayang kejam. 

"Apa yang kaumau?" Tanyaku.

"Kau, mati!"

Aku berteriak ketika sesuatu menjorokku ke lubang di depanku yang sangat dalam dan gelap mencekam. Aku benar-benar terjatuh dan aku merasakan bau amis dan sesak napas. Hingga sebuah tanah menghujaniku. Aku takkuasa untuk berteriak dan selanjutnya gelap.


•••


Keringat sebesar biji jagung mengalir di setiap tubuhku. Detakan jantungku beradu dengan napas yang tersengal-sengal. Hingga sebuah panggilan di sampingku menyadarkanku.

"Hey? Apa yang kaumimpikan?" Ed terduduk di samping ranjangku dan mengelus kepalaku pelan. Jadi tadi hanya mimpi? Mengapa begitu nyata?

"Di mana El?" tanyaku. Ed mengernyitkan dahinya. 

"Dia di rumah. Kalian baru sore tadi bertemu." Aku menghela napas. 

Mimpi itu begitu nyata. Apa maksud dari semua ini? Apakah sesuatu akan terjadi?

"Minumlah." Ed menyerahkan padaku segelas air putih. Aku menerimanya dan menghabisinya. Ed kembali meraih gelasku dan meletakkan di nakas.

"Tidurlah. Ini masih malam." Ed berjalan keluar dari kamarku dan setelah menutup pintunya. Aku menyandarkan punggungku. Angin semilir menerpaku, berasal dari pintu balkon yang terbuka. Apa Ed tadi membukanya? Aku berdecak kesal.

Aku turun dari ranjang dan ingin menutup pintu itu. Namun, langkahku terhenti. Napasku dibuat tercekat ketika sosok kejam itu berdiri di depan pintu. Tatapan yang sama. Senyum sinis sama. Aura yang sama.

Dia nyata. Tanpa mengatakan apa pun, dia melayangkan pedangnya ke udara dan membidiknya ke arahku. Aku seolah terkunci oleh dirinya dan sebuah tusukan yang begitu sakit menghunus tepat jantungku.

Aku memegang dadaku dan ujung pedang itu. Sebelum aku benar benar pergi. Suara Ed telah berteriak dan suara tawa wanita itu yang telah pergi melayang ke udara dan aku mati. 


•••


Next Post Previous Post
4 Comments
  • Abah Abahski
    Abah Abahski 2 Juli 2022 pukul 10.31

    Udah seneng-seneng ternyata mimpi eh ternyata masih dalam bahaya :( . Btw buat bagian akhirnya agak sayang menurutuku masih bisa dikembangin tuh, tiba-tiba langsung mati jadi gimana gitu.

    • sudut pandang vina
      sudut pandang vina 2 Juli 2022 pukul 22.54

      Ending-nya terburu-buru, ya? Iya, sih, aku emang masih lemah banget di ending. Suka deg-degan kalau udan nulis ending ga sabar pen cepet kelar.

      Makasih sarannya, yaaa.

  • Nita
    Nita 2 Juli 2022 pukul 16.24

    Ah...speechless, ko bisa sih punya daya khayal seelok ini canggih sekali dek. Nanti mesti bikin novel, yaaa.

    • sudut pandang vina
      sudut pandang vina 2 Juli 2022 pukul 22.54

      Waduh wkwkwk aku ga bakal nulis novel fiksi sih kaak wkwk

Add Comment
comment url