Mencari Cowok Whatpad [Cerpen]
COWOK IDAMANKU itu enggak jauh-jauh dari karakter cowok di Whatpad. Dia tampan, cool dan bad boy, anak geng motor, most wanted yang pinter, anak OSIS—minimal menduduki salah satu perangkat inti. Kalau ternyata dia adalah anak bos terkaya di dunia dan calon CEO itu lebih baik, ya, minimal terkaya se-Nusantara tanah air ini. Bagaimana, sederhana, bukan?
Hal itu menjadi salah satu alasan aku memiliki bersekolah swasta. Dari cerita-cerita digital yang kubaca di Whatpad, cowok sejenis itu dapat ditemukan di sana. Aku benar-benar sangat antusias untuk hari ini, terutama karena aku resmi menjadi siswa SMA yang siap membuat cerita-cerita seru seperti di Whatpad.
Dibanding mencari teman terlebih dulu, aku lebih memilih untuk duduk sendirian di tribun yang sepi lapangan basket indoor. Setidaknya aku sudah berada di sini beberapa menit setelah bel istirahat berdendang. Seraya menopang dagu dengan tanganku, memandangi lapangan yang sudah terisi cowok-cowok berseragam yang mulai memainkan basket—sepertinya mereka kakak kelas.
"Mana, ya?"
Aku memerhatikan satu per satu cowok yang sibuk mengadu bola oranye. Tidak ada yang menarik, maksudku, ya, mereka lumayan. Namun, aku masih belum menemukan kriteria idamanku, di antara mereka tidak ada yang bersikap cool, tetapi ada tiga orang mendekati bad boy—terlihat dari baju seragam yang dikeluarkan dan dasi yang tidak berbentuk. Namun, bad boy saja tidak memikat kalau kurang cool.
Aku menghela napas, tidak apa-apa, ini baru pencarian pertama. Harus ada usaha ekstra untuk mendapatkan cowok idaman.
"Jadi lo beneran nyari cowok idaman Whatpad?"
Aku tidak menoleh, sudah cukup lama mengenali pemilik suara tersebut. Dia jadi salah satu alasan kuat untuk tidak mencari teman—setidaknya untuk saat ini. Kurasa Raka sudah cukup untuk menjadi teman baik di sini.
"Lo ngapain di sini?" tanyaku.
"Menyadarkan Anda dari proses menuju kehaluan tingkat tinggi."
Kali ini aku harus menoleh dan melempar tatapan tajam ke arah Raka, teman SMP-ku itu tidak pernah berubah sampai saat ini. Bahkan, setelah aku menolak pernyataan cintanya padaku ketika SMP, sifat menyebalkan semakin menjadi-jadi. Lihat dia, tatanan rambut rapi disisir ke belakang, pakaian yang terlalu rapi. Meskipun menyebalkan, tetapi dia terlalu baik. Amat jauh dari kriteria idamanku, Raka itu cupu.
"Kalo enggak ngebantu, jangan ikut campur urusan gue, deh," gertakku sinis.
Bukannya cepat-cepat pergi, Raka memaksa tertawa dan berkata, "Kayaknya lo udah masuk ke jurang kehaluan, deh. Gue ini sedang membantu lo, membantu memperingatkan supaya lo sadar."
Aku mendelik kesal ketika Raka menangkup wajahku dan menggerakkan dengan cepat. Kulepaskan tangan itu dan memukul lengan Raka. "Apaan sih? Emangnya lo pernah berusaha nyari kriteria idaman gue? Enggak, 'kan? Ya jelas lo enggak bakal nemu kalo enggak lo cari."
Aku benar-benar enggak habis pikir, Raka tidak pernah berubah. Sekalinya berubah, justru semakin membuatku kesal dan ingin marah. Namun, selama ini hanya Raka yang dekat denganku dan satu-satunya teman yang kupunya. Mereka bilang aku terlalu maniak dengan bacaan di Whatpad, sehinga hal itu dijadikan alasan untuk tidak berteman denganku. Awalnya aku sedih, tetapi semakin lama aku tidak peduli. Terserah mereka, aku hanya melakukan hal yang aku senangi. Raka, saat ini mulai menjadi seperti mereka dan sku tidak suka.
"Gue enggak nyari karena gue tahu, kriteria lo yang setinggi langit itu enggak akan ada di dunia ini, Bel!"
Ya, Raka sudah sama seeprtymereka yang mengusik apa yang aku senangi. Baiklah, sendiri lebih baik daripada berteman dengan seseorang yang membuat hariku jadi jelek dan di hari pertamaku sekolah sebagai siswa SMA pun sudah dirusak. Daripada membalas perkataan Raka, aku memilih beranjak dan meninggalkannya di sana. Aku akan mencari lelaki idamanku di tempat lain.
Baiklah ke mana kita pergi mencarinya? Mungkin di ruang OSIS? Untungnya ruang OSIS tidak terlalu jauh dari lapamgan basket indoor. Hanya butuh jalan selama dua puluh detik aku sudah berada di depan pintu yang tidak tertutup sepenuhnya. Suara orang saling berdiskusi di dalam terdengar dari luar.
Ketika aku melongokkan kepala sedikit untuk melihat ke delama suara seorang lelaki terdengar menegur, "Maaf, ada apa, ya?"
Cepat-cepat kutegakkan badan ban berbalik msnghadap seorang lelaki yang sudah berdiri di belakangku. Kalau tidak salah dia Kak Alan, wakil ketua OSIS galak, ya, dia tampan, kok. Termasuk kriteria cowok cool, tetapi sayang kurang bad boy. Ya, kalau boleh dikatakan sebelas dua belas sama Raka.
"Oh, itu. Aku mau daftar jadi anggota OSIS, Kak." Aku memang punya spontanius yang bagus sekali, sehingga dapat dikeluarkan di saat-saat seperti ini.
Kak Alan menaikkan alisnya sebelah. "Kamu memang punya inisiatif yang bagus, tapi saat belum buka. Mungkin nanti pertengahan semester. Kalau mau masik, silakan. Permisi, bisa minggir sedikit? Saya mau lewat."
Aku segera melipir sedikit mendekati pintu yang kini sudah dibuka lebar-lebar oleh Kak Alan. Aku kembali berbalik dan memasuki ruangan yang tidak terlalu besar, di tengah-tengah terdapat meja panjang dikelilingi beberapa kursi yang sudah diduduki. Banyak sekali poster motivasi dan beberapa foto murid terpanjang di dinding. Terpampang pula papan berisi nama-nama perangkat OSIS.
"Masuk sini," ajak Kak Alan.
Aku memgangguk dan duduk di samping seorang perempuan berjilbab putih.
"Mereka sdalah perangkat inti di OSIS, mungkin beberapa yang sudah kamu ketahui," kata Kak Alan.
Tadi pagi aku sudah melihat beberapa kakak kelas OSIS yang kini beberapa sudah kukenal. Seperti Kak Ajeng si humas, Kak Saras si sekretaris, dan di sampingku ini Kak Maya sebagai bendahara. Kulihat papan perangkat inti, di sana tertera nama seorang lelaki yang menduduki ketua OSIS. Galang Dirgantara Hardiningrat, kalau dari namanya, sih, udah Whatpad banget. Semoga saja dia adalah lelaki yang ingin kutemukan!
Dengan rasa percaya diri tinggi, aku mencoba membuka suara. "Kasih tips supaya bisa masuk jadi anggota OSIS dong, Kak."
"Kalau itu tanya Galang aja, deh, nanti. Bentar lagi mungkin dia datang," sahut Kak Maya.
Aku mengangguk cepat dan tersenyum labar. Ah, in pasti sebuah takdir yang telah dipersiapkan untukku. Aku sudah tidak sabar, mungkin hari ini hampir menjadi hari yang buruk. Namun, hari buruk akan segera hilang jika lelaki bernama Kak Galang itu datang.
Sampai suara ketukan pintu terdengar, aku mendongak cepat dan menemukan seorang lelaki tinggi, seragamnya sangat rapi lengkap dengan atributnya. Rambut keritingnya juga ditata rapi ke belakang, kacamata bulat itu membingkai wajahnya yang juga bulat.
Ah, kukira Kak Galang.
"Nah, itu orangnya udah datang. Tanya-tanya ke dia aja, Dek," sahut Kak Alan dengan tiba-tiba. Sontak membuatku terkejut seperti tersambar petir di siang bolong. Aku melihat Kak Alan dengan wajah seriusnya dan kembali menatap lelaki yang kini berjalan ke srahku. Dia tersenyum lebar.
"Ya, ada apa?"
Kulirik name tag yang terpasang di bajunya. Galang Dirgantara Hardiningrat. Aku pasti sudah gila. Bagaimana nama itu menjadi milik seorang lelaki yang cupu? Bahkan dia lebih cupu dari Raka. Mendadak rasa mules menyerang perutku.
"Eh, maaf, Kak. Tiba-tiba perutku sakit. Izin ke toilet sebentar, ya."
Aku berlari dari sana sejauh mungkin, kalau perlu tidak usah memasuki ruangan itu lagi. Satu hal yang pasti, aku tidak akan mendaftar jadi anggota OSIS.
Kuteguk habis satu botol mineral, setelsh seharian mencari cowok idamanku di sekolah ini. Mengapa sulit sekali mencari cowok Whatpad di sini? Apa aku salah memilih sekolah, ya? Namun, SMA Prista Buana merupakan sekolah paling elite di kotaku. Untuk pindah sekolah, sangatlah tidak mungkin. Aku membuang napas kasar.
Hari ini sudah menjadi hari yang melelahkan untuk kondisi fisik, terutama batinku.
Kuraih ponsel dari saku bajuku dan memilih untuk kembali berselancar di dunia Whatpad. Membuka perpustakaan dan menelan salah satu bacaan yang masih on going. Memang, belum ada notifikasi terbaru, tetapi aku sedang ingin merilekskan hati.
"Eh, suka baca Whatpad?"
Aku mendongak dan menemukan seorang perempuan berdiri di sampingku dan buru-buru duduk di sampingku. Aku tersenyum kecil dan mengangguk.
"Kamu baca ceritaku, enggak? Kebetulan aku penulis di plarform itu juga, lho," katanya bersemangat.
"Oh, iya? Judul ceritanya apa, Kak?" tanyaku, sepertinya dia adalah kakak kelas terlihat dari bet kelasnya yang menunjukkan angka 11. "Kakak bikin genre apa?"
"Sesuai pasar si Whatpad, aku bikin teenlit." Dia terkikik geli. "Coba, deh, kamu cari judulnya Si Cupu Galang."
Aku mengernyitkan dahi, Galang? Kak Galang yang cupu itu? Bagaimana bisa perempuan ini menuliskan kisah nyata? Terdengar suara tawa, mungkin dia menyadari raut wajahku yang berubah.
"Oke, kamu heran, ya?"
Aku yakin sekali dia sudah menemukan jawabannya dari mimik wajahku.
"Galang itu, si ketua OSIS, pacarku. Aku menulis itu karena terinspirasi dari kisahku sama Galang. Lalu, mengapa aku bikin cerita dengan karakter yang sebenarnya enggak akan menarik perhatian pembaca Whatpad seperti kamu, mungkin. Itu marena aku mau mengubah stereotip karakter cowok di Whatpad yang udah banyak dipakai dsn jujur, sebenarnya mereka kurang masuk akal."
"Kurang masuk akal bagaimana, Kak?" Sebenarnya aku ingin sekali pergi dari sini karena menemukan salah banyak dari orang yang menghina karakter cowok idamanku. Namun, ini menarik karena dia adalah salah satu penulis di sana.
"Santai, jangan emosi dulu. Kalau aku boleh jujur, aku sebelumnya adalah pembaca Whatpad yang maniak abis, bahkan aku sampai dijauhi sama teman-temanku. Kamu tahu? Aku masuk sekolah semahal ini hanya demi mencari karakter cowok idaman aku."
Benar saja, ini sangat menarik. Bagaimana bisa aku seperti mendengarkan kisahku sendiri? Namun, kalau dia memiliki alasan yang sama denganku bersekolah di sini, msngapa dia menjadi kekasih seorang cupu si Kak Galang?
"Terus ketemu, Kak?"
Perempuan itu kini tertawa terbahak-bahak, hampir-hampir memukul meja. Jujur, ini letak lucunya di mana, ya?
"Mau dicari ke ujung sampai ujung lain, mau pakai dukun juga enggak bakal ketemu. Tahu kenapa? Karena cowok idamanku yang dulu itu hanya fiksi, fiktif belaka. Mungkin selama itu aku terlalu sering membaca teenlit yang karakter cowoknya berputar di situ-situ aja, akhirnya otakku kena racun deh sampai kebawa ke dunia nyata. Kalau diingat aku bodoh banget waktu itu."
Aku terdiam, mencoba menelaah pelan-pelan penjelasan perempuan di depanku yang notabenenya sebagai penulis dan parahnya pernah berada di posisiku saat ini yang dianggap bodoh olehnya. Menurutnya, aku bodoh?
"Kalau Kak Galang?"
Perempuan itu segera meredakan tawa dan berubah bersikap manis. "Galang itu salah satu orang yang menyadarkan aku dari kehaluan itu. Bahwa, enggak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Kadang-kadang kita harus menekan egois, apalagi hal itu sangat tidak berguna karena hanya akan memakan energi dan membuang waktu. Juga, selama aku belajar menjadi penulis, karakter itu hanya buatan si penulis. Karakter cowok idaman Whatpad itu hanya bisa ditulis, enggak bisa direalisasikan karena memang mereka tidak nyata. Galang bilang begitu ke aku, mungkin awalnya sulit buat aku terima, tetapi memang semakin dicari semakin capek."
Aku teremenung, merenungi semua penjelasan yang semakin masuk akal. Semakin membuatku tersadar, seakan-akan dibuat melayang dari suatu tempat yang tidak nyata menuju ke dunia nyata.
"Jadi, saranku. Boleh baca apa pun itu bebas, tetapi harus seimbang antara dunia fiksi dan nyata. Jangan terlalu sibuk mengejar yang enggak nyata sampai melupakan ada sosok nyata yang mengejar kita. Nah, tuh sosok itu ada di depan kamu tuh," sahut perempuan itu menunjuk ke depan.
Raka duduk di sana dan tersenyum lebar.
"Ya udah, aku pergi dulu, ya. Jangan lupa dibaca ceritaku!"
Perempuan itu beranjak dari tempat duduknya tadi dan segera berlari keluar dari ksntin.
"Gimana? Udah ketemu cowok idaman lo?"
Aku terdiam sejenak dan mengangguk. "Udah."
Dengan tatapan mengejek, Raka bertanya, "Mana? Sini kenalin ke gue. Pemgin tau gue makhluk itu sesempurna apa."
Aku tersenyum geli ketika Raka celingak-celinguk mencari-cari si cowok idamanku.
"Di depan gue ini, ngapain lo cari diri lo sendiri?"
"Hah?"
***