Apa Kamu Ingin Tahu?

AKU TAHU kamu tidak perlu tahu, meski penduduk hati berdemokrasi untuk segera memberi tahu. Namun, aku memilih bungkam, entah mengapa aku berpikir itu lebih baik daripada harus menunaikan keinginan yang bisa saja hanya sesaat, 'kan? Walaupun, kadang-kadang dalam pikir yang berkelana, dijumpai sejumput tentang kamu yang harus tahu. 

Untuk saat ini, mungkin aku hanya menjadi penikmat masa-masa tanpa pengharapan yang mesti digantungkan di langit. Aku tahu, tetapi tidak tahu juga, barangkali kalau-kalau harapan itu dibiarkan terbang ke langit dan menjadi nyaman di sana. Takut-takut ia akan terjatuh ketika untaiannya putus. Jadi, untuk saat ini pula aku tidak boleh lena akan apa-apa yang harus kamu tahu. 

Aku hanya dapat berdiam diri, membiarkan untaian melayang di udara, di bawah sini, di sekitarku. Sedikit saja ia bergerak ke atas, akan kutarik kembali dan membiarkannya bertamasya bersama alam. Ya, bermain-mainlah seperti anak-anak yang bergembira. Tertawa-tawa bersingut terhadap patah-patah yang beringsut. 

Aku tahu, masa-masa yang berkembang bisa mengembangkan untaian untuk beranjak dan akhirnya berani menentang. Mungkin saja masa itu akan datang, sementara aku belum mempersiapkan diri untuk itu. Kapan hari, ia bertanya, "Bolehkan untuk lebih dari ini?" Kala itu, aku hanya menggeleng dua kali. Kukatakan, "Tidak ada yang lebih untuk itu."

Sebuah pertahanan yang patut dibanggakan dariku, meski harus menyiksa hati yang sudah lama berontak. Sejak awal, ketika pertemuan itu terjadi, sesuatu di dalam hati meledak-ledak menghirup aroma merah jambu yang menggelitik. Perlahan-lahan ia mulai menjulurkan untaian yang panjang, kusebut itu harapan. Harapan yang diharapkan dapat menyentuh—paling tidak, mengetuk hatimu. 

Sebenarnya, aku bertanya-tanya. Apakah hanya untaian milikku yang menjulur? Apakah hanya penduduk di hatiku yang meledak-ledak? Apakah hanya pikiranku yang meneror tentang ssmua ini hanya sesaat? Maksudku, apakah kamu juga merasainya? Aku ragu, bukan perihal jawaban-jawabanmu, melainkan diriku sendiri. Apakah benar semua ini hanya sesaat seperti yang dirangkai oleh pola pikir? Namun, apakah justru akan semakin berkembang dan tumbuh seperti yang digemborkan oleh hati?

Alasan itu yang setidaknya membuatku bertahan untuk berdiam diri. Jika ditanya, mengapa tidak bergerak barang selangkah pun untuk mencari tahu? Untuk dapat menyatukan pikir dan hati yang menjadi tidak akur semenjak temu itu mencuat. Kujelaskan bahwa, saat ini, detik ini, ketika tulisan ini tercipta aku masih berpihak pada pikiran yang dapat menyelamatkan dari kesemuan yang belum tentu nyata.

Mungkin pilihanku tidak adil bagi hati yang butuh untuk merdeka. Kadang-kadang itu lebih baik daripada harus bersusah payah, menguntai harap, menjulurkan harap, dan menggantungnya di langit. Percayalah, jatuh dari berlari-lari layaknya di alam lebih baik daripada harus mengepakkan sayap dan memaku untai di langit lalu terjatuh menjadi puing-puing ketika untaian itu putus. Aku tidak siap untuk itu. 

Aku masih menyayangi diriku, terlebih hati. Hati tidak pernah mau tahu, terkait sebagian harapan yang tidak selamanya dapat ditangkup. Hati hanya tahu berteriak untuk menyegerakan diri, untuk menyerahkan diri pada merah jambu yang diam-diam dapat berubah menjadi merah pekat. Aku hanya ingin, tolong mengettilah hati, aku hanya  tidak siap ketika hati akan tergores. Sebab, bagaimanapun aku juga yang akan merasakan lukanya. 

Namun, hati tidak akan pernah mengerti sampai kamu benar-benar tahu. Namun, aku tidak ingin kamu tahu. Menurutmu, apa yang harus kulakukan? Mana yang mesti kuturuti, antara pikir yang mawas diri untuk tidak jatuh terlalu dalam atau hati yang menggebu-gebu menggaungkan perasaan yang msmiliki untaian untuk kamu rajut? 

Lagi-lagi aku berada di perseteruan yang sengit. Tidak apa-apa karena lagi-lagi aku harus menikmatinya. Bagaimana kalau pertahanan ini runtuh? Bagaimana kalau aku sendiri ingin kamu benar-benar tahu? Aku tahu apa-apa yang disemayamkan hanya akan terendap, sementara kepastian butuh yang nyata di permukaan, lebih-lebih yang melayang sampai menggantung di langit. Namun, aku untuk menatap langit pun tidak berani. 

Menurutmu, ini apa? Problematik, dilematik, dan romantik bersatu padu dalam anyaman yang kusut. Untaian itu bahkan sudah mulai kusut, memudarkan yang lurus dan tertutup dengan kepupusan yang seakan-akan mendekat. Iya, menerima bahwa semua ini hanya sesaat lebih baik daripada harus menerima kabar buruk untukku—terlebih penduduk hati. 

Kamu yang tidak tahu memang menyakitkan, tetapi akan lebih menyakitkan jika kamu tahu lalu kamu berpura-pura menjadi tidak tahu tentang apa yang kutahu. Parahnya, kalau-kalau yang diketahui menjadikan kita tidak lagi seperti kita. Maka, aku hanya menikmati kita yang saat ini, tidak perlu lebih, tidak apa-apa. Untaian harapan itu, biarkan ia menjadi seperti anak-anak tanpa dewasa yang pada akhirnya akan mengarungi kepatahan. Tidak, itu tidak boleh terjadi. 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url