Pendengar yang Menyelam

AKU MASIH TETAP AKU, sebagai manusia yang berusaha terbebas dari pengurungan hari. Berusaha menyentuh permukaan untuk menyudahi asam garam yang dicerna, dikecap, lalu ditelan hingga lagi-lagi rebah di palung hati. Keluar dari dalamnya lautan di tengah biru pekat yang mencekam, merindukan biru yang kirana di pertengahan laut, mengidam-idamkan pasir halus di pesisir lalu sayonara pada air yang menyentuh tumit. Namun, kapan itu terjadi?

Aku kembali dipaksa menyelam, hampir-hampir menyentuh lantai laut. Lemah dalam pengharapan yang tidak usai-usai, memikirkan tentang apa-apa yang sekiranya menjadi penghalang tidak dapat menembus permukaan laut, sementara yang lain berhasil dengan mudahnya menghunuskan kepala hingga berenang ke pesisir kembali. Perjalanan pulang mereka, pasti menyenangkan. 

Memikirkan mereka yang dapat pulang, sementara aku masih berpijak mengambang merajut harapan yang masih bisa diharapkan. Menunduk, kembali memandangi karung berisi biang-biang asam garam yang mulai kembali berkembang biak. Aku tahu, aku tidak bisa banyak berdiam dalam nanar, aku tidak boleh mematung dalam pupus. Kuedarkan pandangan, menjelajahi kembali satu sisi demi satu sisi bersama dengan penyelam lain yang juga sibuk berupaya. 

Dalam wacanaku, kakiku bergerak menuju tempat tadi—tempat penyelam yang mau menjadi pendengarku. Dia masih berdiri di sana, untunglah, masih dalam poisisi yang sama. Namun, gelembung-gelembungnya sudah tidak menari-nari lagi. Perlahan tapi pasti, pijakan kakinya beranjak naik, seakan-akan bersiap untuk menyentuh permukaan. Setidaknya, itu yang terjadi ketika penyelam telah pergi setelah memamerkan karungnya itu pergi dari sana. 

Cepat-cepat kudekati dia, khawatir dia akan meninggalkan tempat itu sebelum aku sempat menghampirinya. Ada yang berbeda dari air muka itu, tampak lebih cerah dan bersinar. Itu tampak asing, seperti—ah, itu adalah wajah-wajah mereka yang gembira dapat menembus permukaan air. Dia menatapku dan memberikan senyuman, tangannya melambai-lambai padaku. Sebelum dia semakin jauh dan beringsut secepat kilat, dia mengeja. Dia menutup telinga, lalu membukanya, menutup matanya, lalu membukanya, menundukkan kepalanya, lalu mendongak, mengunci bibirnya, lalu dibuka lebar yang mengeluarkan gelembung-gelembung. Dia menunjuk diriku dan dia menepuk dadanya sendiri. Setelah itu, dia menjadi salah satu yang berhasil menembus permukaan. 

Aku mengerti, aku memahaminya, bukankah aku harus menjadi sepertinya? Berdiam diri menanti-nanti penyelam yang sama sepertiku sebelumnya. Mataku bergerak ke kanan, ke kiri, ke depan, lalu berkedip sejenak dan melakukan hal yang sama. Sebentar-sebentar kulirik karung asam garamku yang sudah terisi setengah, kurasa aku tadi terlalu pesimis. Mungkin aku harus sedikit optimis, demi dapat keluar dari sini. 

Dari kejauhan, penyelam itu bergerak lihai, melalui satu penyelam dengan penyelam lainnya, sampai akhirnya berhenti di depanku. Kucoba membuka mulut, perlahan-lahan gelembung-gelembung keluar dari sana. Sejenak aku terkesima, untuk pertama kalinya benda bulat itu menari-nari di depanku. Kulirik karung yang dia sodorkan, dibukanya ikatan itu. Keningku berkerut, aku sedikit menunduk untuk memastikan isinya. Kuraih karung asam garamku, kubuka dan kusodorkan padanya. Bahkan asam garamku lebih banyak dari dirinya. Mengapa dia begitu lemah?

Tidak lama, penyelam itu kembali menutup karungnya dan pergi begitu saja. Sementara gelembung-gelembung milikku menjadi pecah secara bersamaan. Tunggu, apa yang salah? Bukankah aku sudah berusaha untuk menjadi pendengarnya? Kucoba mengambil ingatan yang terjadi beberapa lalu, ketika penyelam yang mengeja pergi dari hadapanku. Ah, ternyata aku telah menjadi pendengar yang tidak beradab. Bagaimana mungkin aku mengadu karung milikku dengan karung milik penyelam lain? Kuikat kembali dan kusembunyikan di balik tubuhku. 

Tubuhku kembali tegak, gerakan mataku kembali berirama, menyiapkan diri menjadi tampungan asam garam yang akan dimakan oleh gelembung-gelembung milikku. Lama sekali aku menanti, sementara banyak sekali penyelam hilir dan mudik di depanku. Menanam harapan, setidaknya ada satu penyelam yang bersiap menjadi penceritaku. Setidaknya, kucoba membuka sedikit telinga untuk menunjukkan, bahwa aku telah belajar menjadi pendengar bukan pengadu. 

Ada hasil yang dituai, ternyata, penyelam itu tergopoh-gopoh menujuiku. Wajahnya basah oleh air dari matanya yang sembab. Tangannya bergetar membawa karung yang seakan-akan siap meledak. Aku menghampirinya, dia memprihatinkan, sebuah kesedihan membuncah di ruang hatiku. Telingaku terbuka lebar mengeluarkan spektrum-spektrum yang kuperintahkan untuk memeluknya. Bibirku terbuka membuat gelembung sebesar mungkin.  Tidak lama, gelembung yang besar itu membuka mulutnya dan melahap asam garam milik penyelam itu beserta karungnya. Saat itu juga, penyelam itu menjadi lebih bersinar, tetapi ada yang aneh, mengapa dia menutup matanya? Bukankah sinar itu berasal dari tubuhnya?

Penyelam di depanku ini menggeleng, tetapi senyumannya selebar samudera. Tangan yang sudah tidak gemetar itu terulur menunjuk ke tubuhku. Kuikuti arah pandangnya dan aku terkesima. Apa ini? Maksudku, bagaimana bisa sinar itu berasal dari tubuhku? Kakiku yang tadi berpijak kini dengan perlahan bergerak ke atas, sesuatu di punggung mengangkatku. Gelembung bertubuh gempal milikku itu menari-nari lucu seeaya berenang ke atas bersamaku. Aku menatap penyelam tadi, dia melambaikam tangannya padaku. Cepat-cepat kulambaikan tanganku, suatu saat ketika kami sama-sama berpijak di tanah, aku bersedia menjadi tampungan ceritanya. 

Aku terus menatap penyelam itu, hingga akhirnya yang kutatap adalah permukaaan laut di bawah sana. Inilah yang kuidamkan? Memang menggembirakan, tetapi di bawah sana, menjadi pembelajaran paling menyenangkan dalam kehidupanku. Belajar tentang menjadi pencerita yang pandai memaknai apakah orang lain dalam situasi siap untuk menjadi pendengar? Juga belajar tentang menjadi pendengar yang baik dalam memosisikan diri dan tidak mengadu nasih kepada para pencerita. 
Next Post Previous Post
4 Comments
  • Nadia Rosalin
    Nadia Rosalin 5 Juli 2022 pukul 22.46

    keren kak vina, saya serasa baca cerpen puisi.. wwkkwkw banyak diksinya

    • sudut pandang vina
      sudut pandang vina 8 Juli 2022 pukul 21.31

      Hihi makasi kak nad

  • Reza Liswara
    Reza Liswara 6 Juli 2022 pukul 14.53

    Pemilihan diksinya keren, banyak yang belum aku temuin. Lalu, untuk baca ini sepertinya tak cukup kalau hanya satu kali karena lumayan berat bahasannya untukku 😅😅😅

    • sudut pandang vina
      sudut pandang vina 8 Juli 2022 pukul 21.31

      Baca postingan sebelumnya dulu dung

Add Comment
comment url