Bergelut dalam Kebuntuan
BUNTU! INI BUNTU! Aku sudah berjalan ke segala arah mata angin. Namun, akan selalu berakhir pada tembok yang kembali membuat kepala hampir-hampir ingin pecah. Memikirkan segala strategi, upaya, dan solusi tentang apa-apa yang dapat mengembalikan diri dari kebuntuan. Setidaknya, kaki ini tidak boleh berhenti melangkah, tidak boleh sampai tidak berjalan. Paling tidak, sampai menemukan titik terang, bukan buntu, jangan yang buntu.
Berlari, mengusap bulir-bulir keringat lalu dibuang ke tanah, ke tempat yang sama. Sisa-sisa bekas keringat beberapa saat lalu pun masih berjejak di hamparan tanah yang mulai lembab. Namun, tapak kaki tidak akan—tidak boleh bosan, ia dilarang untuk merasa jenuh. Hanya demi keluar dari apa-apa yang tidak bisa dipijaki lebih lama.
Memang, aku tidak merasa sendiri. Banyak sekali, mereka-mereka yang sama sepertiku. Menanam tujuan yang sama, berusaha dalam cara dan trik yang berbeda-beda. Ada yang berhasil, ada yang belum—masih harus tetap berjuang. Mungkin, memang seperti berjuang bersama-sama, tetapi tidak untuk bersaing antara satu dengan lain. Dengan hal-hal yang menjaminkan mempertemukan diri pada keberhasilan.
Aku berpegang, aku bukan gagal, hanya soal waktu yang kadang-kadang menjengkelkan. Menanti-nanti seraya bertanya, kapan diri ini tidak lagi memijak di tanah yang lembab? Merasakan udara segar yang dapat dihirup dalam-dalam dan dibuang perlahan. Di sini terlalu sumpek, untuk bernapas rasanya seperti enggan. Namun, bernapas menjadi salah satu hal penting untuk bertahan, meski rasa muak telah menumpuk di ruang dada. Hampir penuh, rasanya sesak.
Ini buntu. Benar-benar buntu. Bagaimana jika mulai lelah dan berhenti bergelut? Tidak usah dipertanyakan, nyatanya tungkai kaki sudah mulai lemah. Tapak kaki sudah mual mencium bau tanah lembab. Pertahanan kaki sudah mulai runtuh menahan bobot tubuh kering dengan beban-beban di pundak. Baru kusadari, aku juga manusia yang butuh waktu untuk menguatkan diri. Rehatlah, sejenak langkah tertatih dan akhirnya terhenti ada keputusan tiba-tiba. Berhenti lebih dulu, tidak apa-apa untuk mendaratkan bokong di tanah lembab, menyandarkan punggung di tembok tinggi.
Mengatur napas, menghirup udara sumpek dalam-dalam sampai merasuki paru-paru. Dibuang perlahan-lahan melalui celah-celah bibir yang terbuka sedikit. Membiarkan bola-bola keringat yang dengan deras mengalir di sekujur tubuh sampai basah. Kepala sudah pecah, partikel-partikel rumit sudah melayang di sekitar kepala menjadi puing-puing. Aku menatap satu per satu partikel, menari-nari dengan berbagai gerakan absurd layaknya menampilkan pertunjukan seni. Aku menikmatinya, itu ... tidak buruk juga.
Dengan tangan lesu, kuambil partikel satu dengan lainnya. Kusatukan dalam tangkupan telapak tangan. Ketika digabung menjadi satu kesatuan, sampai menjadi satu partikel yang lebih besar. Menjadi satu benda yang perlahan-lahan membuat beberapa lubang yang mengeluarkan cahaya. Aku tertegun, apa ini? Kuedarkan pandangan, mereka masih seperti sebelumnya berlari menginjakkan tanah lembab dan menerobos tembok yang sia-sia. Hanya aku yang dapat melihatnya. Cahaya itu semakin besar, menyilaukan hingga pupil mata mengecil dan terpejam..
Dalam beberapa saat, mengira-ngira tentang redupnya cahaya itu. Ada yang aneh, aku menghirup udara yang aneh, terasa segar, sekali menghirup dapat membersihkan paru-paru dari udara sumpek sebelumnya. Angin sejuk membelai-belai kepala hingga terasa ringan tanpa beban. Tubuh dibawa melayang, tetapi itu nyaman, tubuhku terasa utuh tanpa tulang-tulang yang tidak lagi rapuh.
Cepat-cepat kubuka mata. Langit biru muda menyambut pandangan yang sudah tidak lagi rabun dan tidak lagi gelap. Mulutku menganga, ini indah! Tidak lagi di ruang yang penuh kebuntuan, tidak ada lagi tanah lembab, di bawah sana terhampar rumput hijau yang empuk, tidak ada lagi tembok tinggi yang menghalangi, ini bukan lagi ruangan, tetapi padang rumput yang luas dan menyenangkan. Mungkinkah aku telah berhasil?
Selanjutnya aku merasa tubuhku dibawa turun dengan hati-hati. Kaki telanjangku menyentuh ujung rumput yang seperti kapas, halus, tidak menyakiti. Suara gemerisik rumput beradu dengan kaki seseorang yang terdengar menuju ke arahku. Aku berbalik, dia ... tampan. Namun, aku tetap berdiri di tempatku. Tepat di depanku, dia berkata, "Selamat, kamu telah berdamai dengan kebuntuan."
Waah... Tampan? Apakah dia malaikat, Vin?
Dia adalah dis yang takbisa kugenggam.
Endingnya tidak disangka-sangka. Apakah ini meditasi? Ataukah berhasil masuk ke alam kematian?
Ini adalah tulisan sastra ketika aku merasa buntu dalam merangkai kalimat.
Saya mikir si tampan itu siapa, wkwkwkwk
Si tampan adalah dis yang takbisa kupeluk—karena bukan muhrim.
Kebuntuan membuat kita jadi putus asa ya..