Berpisah dengan Hantu [Cerpen]
"MEMANGNYA AKU HARUS PERGI?"
Gadis itu menatapku dengan pandangan yang pilu. Sebelum akhirnya menunduk dalam, tetapi aku tahu, betapa dia ingin tetap di sini—di sampingku selama-lamanya. Paling tidak, sudah hampir satu bulan kami bersama. Semenjak dia menjadi salah satu bagian dariku, tetapi dia lebih beruntung untuk dapat kembali dengan cepat. Sementara, aku harus menunggu lebih lama, entah sampai kapan.
"Ya, udah waktunya," kataku.
Namun, gadis bersurai hitam panjang yang sudah kusut itu masih dalam posisinya. Menelisik tanah yang dipijak, sepatu lusuhnya melukis jejak lalu dihapus kembali, dilukis kembali dan dihapus, lalu dia lukis kembali, kali ini tidak dihapus. Dia membiarkannya dan tetap menunduk.
"Tapi, kamu masih di sini, harusnya aku masih di sini. Kamu, kan, mati lebih dulu dari aku."
Kali ini suaranya mulai bergetar, berusaha menguntai rangkaian kalimat secara sempurna. Ingin rasanya mengulurkan tangan, mengelus puncak kepala yang tepat berada di depanku, tetapi kuurungkan, bahunya bergetar. Tidak lama dari itu, terdengar suara isakan tangis. Itu, pertama kalinya aku melihatnya menangis.
"Sya, aku juga maunya pergi, tapi entah kenapa belum bisa." Aku mencoba menjelaskan dengan baik supaya gadis itu dapat paham dan melanjutkan, "Kapan aku mati, tidak menentukan kapan aku pergi. Ada, yang baru sehari, sudah waktunya pergi."
"Waktu ternyata jahat, seperti manusia-manusia jahat yang membunuhku," dengkus Keisya, dia mengangkat tangannya, mendaratkan telapak tangan itu pada wajahnya yang masih menunduk.
Aku menggeleng. "Kalau waktu jahat, mungkin kita enggak akan pernah bertemu, 'kan?"
Keisya mendongak dan menatapku, jika saja dia masih manusia, mungkin air matanya sudah mengalir deras melalui pipi tembamnya. Dia menelengkan kepala—ini adalah salah satu kebiasaan Keisya dan ini adalah terakhir kalinya aku melihat itu. Lalu, dia bertanya hal yang cukup membuatku tersipu, "Kamu senang ketemu sama aku?"
"Ya? Gimana?" Bagaimans aku harus menjawabnya, ya? Kalau aku mengangguk, aku takut semakin berat untuk dia pergi. Jika aku menggeleng, mungkin itu akan menyakiti hatinya dan aku tidak mau perpisahan kami jadi momen memilukan.
Namun, aku melihat bibir yang sedari tadi bergaris tipis dan cenderung mengerucut. Kini, salah satu sudutnya mulai bergerak ke pipi. "Bagaimana kalau aku memaksa di sini?"
"Kalau seperti itu, aku lebih suka kamu pergi daripada memaksa berada di sini." Melihat mimik wajah Keisya yang cepat berubah lebih murung, cepat-cepat kukatakan, "Bahaya, tahu? Setidaknya aku tahu kamu masih ada di tempat lebih baik. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana kalau kamu benar-benar menghilang dari hadapanku, tanpa jejak, kamu benar-benar akan lenyap di sini."
Aku benar-benar tidak mau itu terjadi pada Keisya. Dalam perjalananku sebagai arwah yang belum bisa pergi, aku jadi banyak tahu segala hal. Tentang mereka-mereka yang memaksa diri untuk menetap daripada pergi untuk berada di tempat yang lebih baik. Tidak butuh waktu lama, sesuatu seakan-akan meremukkan tubuh semu mereka hingga menjadi asap dan menghilang bersama angin tanpa meninggalkan jejak.
"Lihat dia." Aku menuntun pandangan Keisya pada sosok pria sekitar usia kepala tiga awal, duduk termenung, wajahnya tertekuk, matanya menyorotkan kepedihan yang mendalam. Bersandar pada batang pohon besar yang tidak jauh dari tempat kami berdiri. "Aku enggak mau jadi pria yang merana seperti itu setelah kepergian sosok yang dia sayangi. Kekasihnya memaksa untuk menetap, sampai akhirnya hilang tepat depan matanya."
Aku kembali menatap Keisya yang masih memperhatikan pria tadi. "Aku enggak mau melihat kamu menghilang di hadapanku. Itu enggak boleh terjadi, Sya."
"Kapan aku harus pergi?" tanya Keisya pada akhirnya, tanpa melihatku. Tidak apa-apa, aku memahaminya, itu lebih baik baginya dan tentu bagiku.
"Tunggu aja, Sya. Selama itu, tetap di samping aku. Jangan ke mana-mana," pintaku.
Selanjutnya, Keisya merapatkan sisi tubuhnya ke arahku, seakan-akan telah direkatkan. Hal itu membuatku tersenyum geli. Sempat diam dalam keheningan sampai akhirnya Keisya bertanya, "Kamu ..."
Keisya menjeda perkataannya, sementara aku lebih suka menunggu daripada harus kembali menanyakan. Sebab, dia akan melanjutkannya.
"... suka sama aku?"
Senyumanku semakin lebar, jika dipikir-pikir, ini adalah senyuman paling lebar selama aku menjadi hantu. Tahu waktu kami tidak banyak, gadis itu pun membutuhkan jawabanku dengan cepat, "Ya, dua hari pertemuan kita, aku sudah menyukaimu."
"Kamu enggak masalah aku pergi?"
Aku diam sejenak, memangnya siapa yang baik-baik saja dengan perpisahan antara dua orang—maksudku, dua hantu yang ingin terus bersama? Dalam keputusan merelakan, akhirnya akan tidak baik-baik saja. Namun, jika berpisah lebih baik bagi aku dan dia, maka tidak apa-apa membiarkan dia pergi. Sederhana, semua itu karena aku mencintainya.
"Aku akan berusaha untuk enggak mempermasalahkannya, Sya," kataku, meski tahu, Keisya sudah pergi beberapa detik sebelumnya. Hanya satu yang tidak hilang, lukisan sepatu lusuhnya telah menjadi jejak bahwa dia pernah ada di sisiku.
Sudut pandang yang menarik. Ini adalah problematika yang biasa kita temui di kehidupan manusia, bukan hantu. Tapi Kak Vina bisa mengemasnya dengan menarik dengan latar yang berbeda.