Lima Hari bersama Hantu [2/5]

MENGEJUTKAN SEKALI ketika tiba-tiba aku terbangun dari tidur dan tubuhku merasa lebih segar. Awalnya kupikir dua hari kemarin adalah mimpi buruk yang unik, tetapi semua itu terpatahkan ketika menemukan lelaki itu masih terduduk dengan posisi yang sama dan di tempat yang sama. Apa dia meninggal karena angin duduk? Entahlah, aku tidak berani bertanya tentang alasan di balik kematiannya. Sejak pertama bertemu dengannya dan mengenali sifatnya yang sedikit sinis itu, aku tidak yakin bahwa dia akan menceritakannya padaku. Lebih baik aku memikirkan bagaimana cara memulai hari dan meniti karier sebagai hantu, ‘kan?

Oh, iya, siapa namanya semalam? Kunto? Walaupun namanya yang kalem itu tidak sesuai dengan karakternya yang sedikit ... pemarah? Entahlah, mungkin dia sedang mengalami masa-masa berat sebagai hantu? Kalau itu sih, aku juga merasakannya—mungkin semua hantu awalnya pernah terjangkit culture shock. Aku beranjak dan berdiri menapaki kaki yang terbungkus sepatu lusuh di tanah, kurenggangkan otot dengan mengaitkan dua jemari kanan dan kiri serta menarik kedua tangan ke atas kepala. Andai saja saluran pernapasanku masih berfungsi, mungkin aku dapat merasakan udara sekitar yang terasa segar. Matahari pun sudah mulai menampakkan dirinya, sorot sinar yang menelisik melalui daun-daun dari pohon sebelah menjadikan gardu ini terasa sejuk. Beberapa kendaraan pun sudah mulai berlalu lalang memadati jalan raya.

Kalau dilihat-lihat para hantu itu sudah tidak seramai tadi malam. Entah ke mana mereka pergi, tetapi aku dan Kunto masih ada di sini karena memang tidak tahu harus ke mana. Aku mendongak, memastikan apakah perempuan berdaster putih tadi malam masih ada. Ternyata, hanya tersisa satu yang saat ini sedang melayangkan senyuman ke arahku dan melambaikan tangan. Aku mengangguk satu kali dan membalas senyum kikuk, agak sedikit aneh juga membuat interaksi ramah dengan hantu.

Sampai suara langkah kaki yang bergesek dengan tanah terdengar dari sampingku. Kunto bergerak meninggalkanku dan berjalan tanpa mengatakan apa pun padaku. Ya, aku tahu, kami baru kenal tadi malam, tetapi sebagai teman baru yang baik ada bagusnya untuk menyapaku sekadar mengucapkan selamat pagi. Kalau dipikir-pikir lagi, itu bukanlah Kunto banget sih. Mulai sekarang aku harus belajar untuk memaklumi sikap tidak ramahnya itu—kurasa Kunto harus belajar menjadi hantu yang ramah dari perempuan berdaster putih di pohon tadi.

Cepat-cepat kukejar Kunto yang berjalan dengan langkah lebarnya, ini membuatku kesulitan mengingat kakiku amat pendek. Setelah tepat berada di sampingnya aku bertanya, “Mau ke mana?”

“Ngapain ikut-ikut? Balik sana, main sama kuntilanak tadi.” Jawaban yang sudah tertebak dan tidak akan semudah itu untuk mendapat jawaban yang sesuai dengan pertanyaanku.

“Enggak mau, aku mau ikut. Kalau ada hantu jahat gimana?” Tentu saja dia tidak akan peduli wahai diri. Kunto tidak menjawab, tetapi langkahnya terhenti dan menatapku sejenak, meniti diriku dari atas sampai ke bawah. Ehm, jujur aku merasa salah tingkah dan malu, pasalnya aku tidak tahu bagaimana penampakanku saat ini. Pasti sangat berantakan dan kacau, refleks aku mencoba menata rambut panjangku yang sudah lepek. Terdengar suara kekehan dari depanku, aku mendongak menemukan Kunto yang kini membuang muka sambil tertawa kecil. Baiklah, reaksi itu sudah sangat menjelaskan kondisiku yang urakan.

Body shaming kamu kalo ngetawain aku,” sungutku kesal.

“Terserah.”

Selanjutnya dia kembali berjalan, aku mengikuti lalu berjalan di sampingnya dengan berlari kecil. Bahkan cara jalan lelaki ini saja membuatku kesal. “Naaf, ya, Kun. Tapi jalannya bisa santai dikit enggak? Mau ke mana sih? Ketemu pacar? Gebetan?”

Perlahan dia memelankan tempo langkahnya sehingga aku dapat menyeimbangkan perjalanan tanpa harus susah-susah berlari. Aku tersenyum tipis, meskipun menjengkelkan, ternyata dia sedikit punya sisi kepedulian yang patut diapresiasi. Aku mengikuti Kunto yang berbelok menuju sebuah gang kecil yang tidak begitu jauh dari gardu tadi, hanya sekitar lima menit perjalanan. Langkah dilaju pun semakin memelan, semakin lambat sampai akhirnya terhenti di sebuah rumah sederhana di balik pagar setinggi dada Kunto dan setinggi bahuku. Halamannya tidak begitu luas, tetapk dipadati rumput yang masih basah seperti baru dipotong beberapa hari ini. Di sisi kanan terdapat pohon mangga yang menjadi satu-satunya tumbuhan di halaman rumah ini.

“Gue mau pulang.” Mendadak lelaki itu berubah menjadi sosok dengan kesedihan yang menumpuk di pundaknya. Aku menatap Kunto, tidak ada lagi wajah datar nan sinis di sana, hanya ada gurat yang membentuk raut kepiluan. Matanya dengan teduh menyentuh pintu rumah yang tertutup rapat. Seakan-akan ingin sekali mengetuknya. Entah ke mana perginya mata tajam itu. Dari gestur kecil tersebut, aku sudah dapat menyimpulkan bahwa ini adalah rumahnya semasa dia hidup. Kunto kembali berkata, “Gue mau pulang sebentar aja.”

“Enggak masuk?” tanyaku hati-hati, barangkali pertanyaan ini akan memengaruhi kondisi hatinya.

Kunto menggeleng. “Sebentar lagi dia keluar.”

Tidak lama suara kunci diputar terdengar sampai decitan pintu terbuka yang memunculkan seorang wanita paruh baya. Dari jarak pandangku, dapat terlihat jelas wajahnya yang sangat kusut, bibir tipisnya mengerut ke bawah. Setelah menutup pintu, wanita itu berjalan menunduk ke arah kami, Kunto mendesis, “Jangan jalan menunduk, nanti jatuh, Ma.”

Ah, itu ibunya. Wanita itu sedikit oleng dan tidak sengaja menyentuh batu yang membutnya hampir terjatuh. Namun, cepat-cepat wanita itu berdiri tegak dan kali ini aku dapat melihat wajahnya dengan jelas. Dia tidak baik-baik saja, maksudku, semua orangtua pasti akan sangat terpukul dengan kepergian sang anak. Namun, wanita itu mau ke mana dalam kondisi tidak baik-baik saja? Matanya benar-benar sembab, dia pucat sekali.

Wanita itu berhenti sejenak untuk membuka gerbang, aku melirik Kunto yang menatap sedih ke arah sang ibu yang kini tepat berada di depannya. Tangan kurus Kunto terulur menyentuh wajah ibunya. Namun, aku tahu itu tidak akan berhasil. Wanita itu mengusap pipinya sendiri yang sempat basah karena setetes air yang tumpah dari pelupuk mata. Selanjutnya, dia berjalan lalu menembus tubuh Kunto. Aku tahu, betapa menyakitkannya hal itu. Ketika kita terbiasa untuk mendapatkan sentuhan kasih dari orangtua, tetapi saat ini sentuhannya tidak akan bisa digapai lagi. Aku mengusap pelan punggung Kunto, berharap lelaki itu segera baik-baik saja.

Aku menengok ke belakang dan wanita itu sudah hilang di balik tembok depan gang. Pun, semoga wanita itu baik-baik saja. Ah, bagaimana kabar orangtuaku, ya?

•••

Sejak kembalinya kami dari rumah Kunto, kami hanya banyak berdiam diri di gardu. Aku juga tidak berani untuk mengatakan apa pun padanya, mungkin saja lelaki itu butuh waktu sendiri dan tidak ingin diganggu. Dari siang berganti sore, hingga malam menyapa. Dari jalanan dipenuhi manusia sampai jalanan telah dipenuhi para hantu sepertinya kemarin malam. Kunto benar-benar menekuk wajahnya, kepalanya tertunduk dalam. Aku yang melihatnya langsung merasa kram mengingat dia sama sekali tidak mengubah posisi. 

“Itu tadi ibu gue,” kata Kunto pada akhirnya setelah setengah hari membungkam mulutnya.

Aku mengangguk paham. “Dia cantik.”

“Pada hari kematian gue, gue bertengkar sama ibu gue. Bukan tanpa alasan, tapi gue enggak suka ibu gue bertemu lagi sama lelaki yang udah kasar sama ibu gue dan gue.”

Kali ini aku yang membungkam mulutku. Kunto benar-benar membawa beban yang berat di pundahknya, bahkan di saat napas terakhirnya. Aku merasakan penyesalan yang kuat dari suaranya yang bergetar.

“Gue kecelakaan karena nyetir motor tanpa kendali dan meninggal di tempat dan gue ...” Dia menahan sejenak dan menarik napas. Kuusap lagi punggungnya yang terasa kaku. Mencoba memberi kekuatan.

“Jangan dilanjut kalau enggak bisa cerita, Kun,” kataku padanya.

Namun, Kunto tetap melanjutkan pembicaraannya. “Dan gue menabrak seseorang, gue meninggalkan beban untuk ibu gue.”

Kunto semakin menunduk dalam, tetapi tubuhnya bergetar hebat. Suaranya yang bergetar berubah menjadi isakan yang terasa menyakitkan. Kuraih pundaknya untuk mendekat ke arahku dan merebahkan kepalanya di bahuku. Aku merangkulnya, mengusap kepalanya. Lelaki ini, butuh pergi dengan tenang dan saat ini dia tidak tenang apa yang telah dia alami. A

•••


Next Post Previous Post
5 Comments
  • siti nurhayati
    siti nurhayati 14 Juli 2022 pukul 16.02

    Jangan-jangan yang ditabrak ya hantu yang sedang merangkulnya?

    • sudut pandang vina
      sudut pandang vina 23 Juli 2022 pukul 23.08

      Hmmm gimana yaaa wkwkwk

  • Hilaschou
    Hilaschou 16 Juli 2022 pukul 22.44

    Wkwk ngakak, lucu juga kalau hantu juga bisa body shaming 😁
    Di akhir postingan agak mencurigakan nih, bisa jadi plottwis

  • Reza Liswara
    Reza Liswara 18 Juli 2022 pukul 21.22

    Waduh kukira akan baik-baik saja, ternyata akhirnya menyedihkan. Sedih juga jadi Kunto, pasti hidupnya berat huhuhu.
    Bagian akhir agak mencurigakan ya, kupikir yang jadi korban tabraknya itu kalau ga lelaki yang dibenci Kunto atau gak ya si tokoh utama. Mari kita baca bagian selanjutnya

    • sudut pandang vina
      sudut pandang vina 23 Juli 2022 pukul 23.08

      Baca sampe abissss

Add Comment
comment url