Lima Hari bersama Hantu [1/5]

PADA AWALNYA aku berpikir, mereka adalah manusia yang sama sepertiku. Sampai mereka menunjukkan wujud aslinya yang hancur tidak berbentuk. Saat itu pula, aku berpikir bahwa mata ini mulai menjangkau dunia lebih dalam lagi, sampai aku mengetahui bahwa manusia-manusia itu tidak melihat keberadaanku. Hal yang paling membuatku frustrasi adalah ketika para manusia dengan santainya menembus diriku. Setidaknya, itu yang terjadi dua hari terakhir ini, luntang-lantung di sisi jalan tanpa peduli matahari dan bulan bergantian posisi. Tanpa peduli hujan yang juga dengan tidak sopannya menembus diri. Akan tetapi, aku peduli sampai membuatku sulit menerima bahwa aku telah menjadi salah satu di antara mereka yang sudah tidak bernapas.

Malam ini seharusnya sedingin es batu, tetapi tubuh ini sudah seperti es batu yang dingin dan beku. Berjalan di tengah jalan raya yang sesekali dilalui kendaraan, tabrak saja, toh aku sudah meninggal. Kuedarkan pandangan, berharap menemukan tempat untuk menetap—setidaknya itu yang kutahu di dunia hantu ini, bahwa hantu juga butuh tempat menetap. Jujur saja, tidak ada tempat ternyaman di luar selain kamarku sendiri. Namun, entah mengapa otakku menghilangkan semua ingatan dan informasi yang penting. Aku hanya ingat, ketika aku berlari sambil menangis di pinggir jalan dengan mengenakan seragam putih abu-abu yang menjadi pakaian tetapku sebagai hantu.

Kalau aku manusia, aku akan seperti anak hilang yang hidupnya berantakan. Namun, kenyataan aku adalah hantu yang hilang arah dan bukan makhluk hidup. Aku mendecih ketika sebuah kerikil pun tidak mampu kutendang sebagai pelampiasan. Untuk berteriak pun tidak akan ada yang mendengarku. Melangkah gontai tanpa lajur, yang akhirnya membawaku pada sebuah gardu yang diduduki seorang lelaki dengan pandangan kosong. Aku terkekeh sinis, manusia itu pasti sedang dalam masa sulitnya. Baiklah, akan kutemani meskipun keberadaanku tidak dianggap.

Tanpa meminta izin kepada lelaki itu, aku langsung mendaratkan tulang ekor di sisi gardu. Tempat ini cukup nyaman juga, kulirik sekitar memastikan apakah ada penunggu tetap di sini? Namun, aku tidak menemukan makhluk halus di sini. Hanya saja para hantu itu sibuk beraktivitas di jalan raya, ada pula yang melayang-layang di atas, bahkan pohon yang menutupi gardu ini dari langit telah ditempati dua perempuan berdaster putih tengah berdiskusi di salah satu tangkai pohon tersebut. Well, mereka tidak seburuk itu juga.

“Dasar anak kecil.”

Aku mengerutkan kening dan nenoleh ketika lelaki itu bergumam. Bibirnya bergerak miring, kepalanya menunduk menghunus tajam ke tanah di bawahnya. Pasti lelaki itu melalui hari-hari berat yang bersamgkutan dengan anak kecil? Mungkin saja, memikirkan permasalahanku saja hampir membuat kepalaku pecah. Namun, aku memang merasa kepalaku seperti pecah sejak dua hari lalu. Ah, sudahlah, aku tidak mau memikirkannya, aku hanya ingin menenangkan diri dan mencoba menerima apa yang sedang terjadi denganku.

Kucoba merebahkan diri dan memejamkan mata yang percuma juga tidak akan membawaku pada lelap, tetapi itu lebih baik daripada harus terjaga terus-menerus. Kugerakkan tubuh ke kanan dan kiri, mencari posisi tidur yang nyaman sehingga menimbulkan gerakan pada gardu. Sepertinya aku membutuhkan bantal dan guling. Aku berdecak kesal, aku kembali terduduk.

*Bisa diem enggak sih?”

Alisku naik sebelah, sebuah reaksi spontan dari seruan yang lagi-lagi datang dari lelaki dengan hari beratnya itu. Namun, sebelah alisku ikut naik, bahkan mataku benar-benar membulat ketika pandanganku dengan lelaki itu bertemu. Iya, kami saling bersitatap, beradu pandangan dengan sorot yang berbeda. Ketika aku terkejut dan mulai merangkai asumsi apakah lelaki ini indigo? Sementara, dia menatap tajam ke arahku seperti menghunuskan pandangan ke tanah tadi.

Kucoba menengok ke belakang, barangkali ada sosok lain yang dituju pandang oleh lelaki itu, tetapi nihil, hanya aku dan dia di gardu ini. Maka sudah dipastikan pandangan itu memang dilempar untukku. Alih-alih merasa jengkel, aku mengembangkan senyuman, akhirnya menemukan satu orang yang dapat berinteraksi denganku. Mungkin saja dia dapat membantuku, ‘kan?

“Kamu bisa melihatku?” tanyaku sedikit menggebu, kucoba menggenggam tangannya dan aku berhasil menggenggamnya kuat-kuat, dia tidak menembusku! Ah, pasti tuhan mengirim dia untukku. “Akhirnya! Ada manusia yang dapat membantuku!”

Dia terkekeh dan perlahan-lahan menjadi tawa membahana yang mampu mengundang perhatian para hantu di sekitar. Ah, baiklah, aku akan ikut tertawa bersamanya, berbagi kebahagiaan. Namun, dengan cepat dia beranjak dari tempatnya dan berdiri di tengah jalan. Merentangkan tangannya seraya menatapku. Wajahanya kini berubah datar. Aku mengerutkan kening, apa maksudnya? Sampai sebuah lampu sorot mobil terlihat dan bergerak melaju dengan cepat dari arah kiri. Cepat-cepat aku berdiri dan mencoba menolong lelaki gila itu.

“Hei! Kamu udah gila, ya? Semua masalah enggak bisa diselesaikan dengan bunuh diri!”

Belum sempat menghampirinya, mobil itu menabrak lelaki itu. Aku berteriak, tetapi hanya sejenak karena nyatanya lelaki itu masih ada di sana, pada posisi yang sama, dan wajah yang sama tanpa dosa. Aku berhenti berteriak dan melihat sekitar, para hantu itu tengah menjadikanku tontonan lucu, menertawaiku. Sementara lelaki itu dengan santainya kembali melangkah ke gardu melewatiku di pinggir jalan yang masih terkejut dengan mulut menganga. 

•••

Baiklah, setidaknya dua hari terakhir ini benar-benar membuatku syok. Tidak ada pembicaraan yang terjadi setelah momen bodoh tadi berlangsung. Aku kembali dibuat banyak pikiran yang terbagi dua, harus menerima bahwa diri ini dan juga lelaki aneh ini adalah sesama hantu yang ternyata sama-sama melalui hari-hari berat. Aku menghela napas, meskipun tidak ada udara yang keluar. Kurebahkan diri di papan gardu yang keras.

“Lo lagi menghina diri sendiri apa gimana?”

Aku memejamkan mata, tidak mengindahkan apa yang dibicarakan lelaki itu. Aku benar-benar lelah, antara pikiran dan raga kali ini berjanjian untuk sama-sama meremukkan tulang yang sudah tidak berfungsi ini. Bagaimana tidak? Sudah dua hari aku stres dan berjalan ke sana kemari tanpa henti mencari-cari tempat nyaman dan baru ditemui sekarang. Ya, meskipun kehadiran lelaki ini tidak membuatku nyaman. Namun, itu lebih baik daripada dia mengusirku.

“Jangan pernah hela napas lagi di sekitar gue, ganggu tau?” ujar lelaki itu dengan suara sinisnya. Ya, aku bahkan membayangkan lelaki itu tengah melayangkan wajah datar.

“Kamu hantu, tapi banyak omong banget, ya?” keluhku. Serius, aku benar-benar lelah dan butuh istirahat. “Bisa jangan bawel dulu? Kecuali kalau kamu mau bantuin aku.”

“Maksud lo?”

Aku terduduk kembali dan menatapnya, melunakkan bicaraku, ya, siapa tahu lelaki ini bisa diajak kompromi. “Kamu pasti udah lama jadi hantu, ‘kan? Pasti kamu pernah dong ketemu sama orang indigo?”

“Dua hari itu termasuk lama, ya?” Lelaki itu menatapku dengan tatapan yang remeh. “Dua hari kerjaan gue cuma duduk di sini, menerima diri bahwa gue udah mati. Indigo? Yuk, saatnya lo buang jauh-jauh harapan itu.”

Benar-benar sebuah informasi yang amat penting dan motivasi yang sungguh tidak memotivasi diri ini. Aku melengos dan berdecak kesal. Memikirkan kira-kira bagaimana diri ini akan menjalani masa-masa baru sebagai hantu mulai hari ini dan entah sampai waktu kapan.

“Kenapa lo bisa mati?”

Aku menggeleng. Mematut wajah sedih. Pertanyaan itu pun yang masih menjadi pertanyaan besar sampat saat ini. Seakan-akan tidak akan pernah ada jawaban seperti kisah hidupku yang sudah berakhir. Jangankan itu, mengingat keluargaku saja aku tidak mampu, namaku saja aku tidak tahu. Lagi-lagi hanya ingatan bodoh ketika aku berlari di pinggir jalan sambil menangis. Benar-benar ingatan yang tidak membantu sama sekali. Aku kembali membuang napas.

“Gue bilang jangan buang napas di sekitar gue, Anak Kecil.”

“Iya, Bawel!”

Aku kembali merebahkan diri dan memunggungi lelaki itu. Kali ini aku benar-benar ingin tidur saja.

“Gue Kunto, panggil gue Kunto.”

Aku tersenyum tipis. Ternyata lelaki itu tidak seburuk itu juga. Setidaknya, saat ini aku tidak merasa sendiri. Itu lebih baik daripada harus merasa sedih seorang diri.

•••


Next Post Previous Post
8 Comments
  • Hilaschou
    Hilaschou 13 Juli 2022 pukul 23.38

    Wahh ini pengalaman baru nih, cerita dari sudut pandang hantunya sendiri.
    Tapi kasian juga jd indigo ya, kayknyabakal diminta bantuan terus sm mahluk2 halus. Seru ceritanya.
    Ditunggu kelanjutannya kak vinaa 😊

    • sudut pandang vina
      sudut pandang vina 23 Juli 2022 pukul 23.09

      Wkwk fresh berarti yaa kak

  • Siti Nurhayati
    Siti Nurhayati 14 Juli 2022 pukul 00.38

    Hantu ketemu hantu? menarik nih..

    • sudut pandang vina
      sudut pandang vina 23 Juli 2022 pukul 23.10

      Ho oh

  • Windi astuti
    Windi astuti 14 Juli 2022 pukul 19.42

    akankah hantu ini juga bakalan menjalin kisah cinta dalam dunia hantu ?

    • sudut pandang vina
      sudut pandang vina 23 Juli 2022 pukul 23.10

      Hmm akankah oh akankah??

  • Nita
    Nita 14 Juli 2022 pukul 22.09

    Jadi ingat film kartun Casper, yg kadang putus asa dengan dirinya sendiri sebagai hantu. Keren, nih, ceritanya,m. Antimainstream

    • sudut pandang vina
      sudut pandang vina 23 Juli 2022 pukul 23.10

      Wihhh aku jadi pengin nonton casper lagiihh

Add Comment
comment url