Lima Hari bersama Hantu [3/5]
AKU TIDAK bisa berhenti terpana pada apa yang saat ini kulihat. Berdiri di sisi atap gedung dan seakan-akan dapat menelisik sudut kota dengan gemerlap lampu yang menambah keestetikan. Langit malam ini pun tampak sempurna, meskipun tidak ada bintang atau bulan di sana. Namun, di bawah sana benar-benar memaparkan tontonan yang memukau. Jalanan yang padat dilalui kendaraan. Suara derum mobil, suara klakson, suara hiruk pikuk yang menggema, benar-benar alunan yang mendamaikan telinga. Aku tidak tahu, apakah selama hidup pernah menyaksikan dunia dari atas. Akan tetapi, ini berhasil membuatku tidak berhenti menganga. Untuk pertama kalinya aku rela berterima kasih pada Kunto karena dialah yang membawaku ke sini.
“Bentar lagi nyamuk masuk itu ke mulut lo,” tegur Kunto.
Cepat-cepat aku menutup mulut dan kembali menegakkan punggung, kedua tanganku bertumpu pada tembok pembatas yang hanya setinggi dadaku, sehingga aku dapat menyaksikan benda-benda bergerak di bawah sana dengan leluasa. Malam ini sangat sempurna ditambah angin sepoi-sepoi yang membuat enggan untuk pergi dari sini. Rasanya ingin menetap saja, tetapi penunggu di sini tidak akan mengizinkannya.
“Sorry, tapi ini indah banget!” seruku memekik tidak tertahan. “Aku enggak tau, apa selama hidup pernah ke sini. Tapi, aku merasa semua ini baru.”
Kunto hanya tertawa kecil, beberapa detik kemudian dia bertanya, “Jadi lo enggak inget apa pun, termasuk alasan kematian lo?”
Aku menggeleng, sudut bibirku tertarik ke samping. Ini adalah hari ketigaku bersama Kunto, tetapi aku tidak mampu menceritakan siapa aku dan mengapa aku kepadanya. Ya, bagaimana? Apa yang harus diceritakan dari sosok yang ingatannya entah bersemayam di mana. Satu-satunya yang kuceritakan hanya tentang betapa resah dan kesalnya aku pada otakku yang tidak bisa mengingat apa pun. Aku sendiri berusaha berpikir, tetapi semakin dipikirkan semakin membuatku ingin menyerah saja. Ingatan itu seakan-akan menolak apa-apa yang ingin kuingat.
“Kenapa, ya? Memangnya ada hantu amnesia?” tanyaku mencoba menenangkan pikiran. Ya, bisa saja aku mengalami suatu penyakit lalu amnesia dan membuatku harus mengembuskan napas terakhir.
“Mungkin lo termasuk orang yang pikunan?” Kunto menerka-nerka lalu menggelengkan kepala dan berdecak. “Kasian banget, mana masih muda.”
Aku mendengkus, lelaki ini, mau semenyedihkan apa pun, dia tidak akan menanggalkan sifat menjengkelkannya tadi. Harus banyak-banyak bersabar diri dalam kurun waktu yang lama selama bersama Kunto. Tidak apa-apalah, itu lebih baik daripada harus menjalani hari-hari hanya sendiri. Itu akan terasa sulit. Apalagi mengalami transformasi sebagai hantu yang hanya menunggu kapan harus pergi dari dunia ini. Pun, aku punya firasat akan sangat lama singgah di dunia ini, aku tidak memiliki ingatan apa pun terkait alasan di balik kemahianku. Maksudku, aku tidak tahu urusan apa yang belum aku selesaikan di dunia ini sampai-sampai aku masih tertahan di sini.
“Pasti semasa hidup, kamu adalah orang yang menyebalkan. Tapi ....” Aku mendongak untuk melihat wajahnya. “Pasti orang-orang di sekitar kamu akan merasa sangat kehilangan orang kayak kamu.”
“Gue orang yang mudah marah sama orang lain, tapi gue enggak bisa marah sama ibu gue.” Kunto tersenyum masam lalu melanjutkan perkataannya dengan nada yang lebih direndahkan. “Kecuali saat itu, sebelum gue meninggal.”
Kalau dipikir-pikir, apakah semua ingatan para hantu yang belum bisa pergi begitu amat menyakitkan sehingga mereka berusaha untuk menyelesaikan urusan tersebut, tetapi itu bukanlah hal mudah, ‘kan? Kadang-kadang aku berpikir, untuk saat ini mungkin ada baiknya jika ingatanku belum kembali. Bisa saja ingatan itu adalah hal buruk yang sulit kuterima. Namun, di sisi lain aku juga berpikir bahwa apa pun bentuk ingatannya, mau tidak mau harus diselesaikan supaya dapat pergi dengan tenang.
Jika mengingat apa yang dialami Kunto, aku sendiri pasti akan merasa amat menyesal dan akan menjadi hantu yang terpuruk. Namun, lelaki di sampingku ini bagaikan tameng bagi dirinya sendiri. Bahunya tegap, kepalanya sering mendongak jika dia dalam mode menjengkelkan. Tubuh kurus itu, mampu menopang beban berat yang tertinggal. Siapa pun yang melihatnya akan menganggapnya lelaki angkuh. Namun, siapa pun tidak akan menyadari tentang mata sipitnya yang tidak bisa berbohong. Untuk yang satu ini, diam-diam aku mulai menyukainya.
“Pasti semua hantu di sini punya urusan yang berat, ya,” kataku. Kuletakkan daguku pada tangan kiriku yang sikunya bertumpu di atas tembok pembatas. Kali ini mataku memikih untuk menyaksikan langit yang gelap tanpa aksesoris, tetapi keindahan tidak luput dari sana. “Mungkin urusan itu adalah hal rumit yang harus diselesaikan oleh para hantu, tapi aku? Apa yang harus kuselesaikan, sementara aku enggak tahu urusan berat apa yang terjadi sama aku.”
Kunto mendekat dan berdiri tepat di sampingku, kepalanya mendongak untuk menyaksikan apa yang tengah kusaksikan. Tidak lama dia berkata, “Tau enggak? Kalau tuhan membuat sebuah takdir yang selalu punya alasan baik di baliknya?”
Aku tersenyum tipis, malam ini secara tidak sadar Kunto menunjukkan sisi lainnya yang membuatku kembali menyukainya. Aku menggeleng sebagai balasan atas pertanyaannya tersebut. Aku menanti-nanti pikiran apa yang akan diucapkan dan pada akhirnya membuatku semakin menyukainya.
“Bisa jadi, kematian gue adalah hal baik untuk ibu gue. Begitu juga dengan lo, mungkin ada hal baik di balik ketidaktahuan yang ingin lo tahu. Semua hanya perkara waktu, cepat atau lambat hari itu akan datang. Tentang apa-apa yang menyelesaikan perkara kita.”
Bagaimana bisa Kunto berpikir sejauh dan sedalam itu, sementara dia sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja? Lagi-lagi, aku harus menyetujui perkataannya barusan. Bahwa akan selalu ada hal baik dari apa-apa yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan. Aku tahu, itu bukanlah hal mudah untuk dilalui, tetapi waktu perlahan-lahan akan mengungkapkan. Tugas kita sebagai makhluk hanya menunggu seraya berusaha. Aku memejamkan mata dan menuturkan doa dalam hati, aku tahu ini tidak akan berhasil, tetapi tidak ada salahnya mencoba, ‘kan?
“Kenapa mata lo? Kelilipan?”
Rasanya ingin sekali mencebik mulutnya yang lemes itu. Bisa-bisanya dia merusak suasana keren yang dia bangun sendiri. Aku tersenyum dan menjawab pertanyaannya, “Aku berdoa.”
Awalnya Kunto tampak menahan tawanya, tetapi semakin ditahan tawamya menyembur juga. Tidak tanggung-tanggung dia sampai memukul-mukul pembatas dinding di depannya, badannya membungkuk. Aku sendiri tidak peduli dengan reaksi itu, mungkin hantu lain akan melakukan hal yang sama seperti Kunto. Namun, tidak ada salahnya mencoba, ‘kan? Bukankah akan selalu ada alasan dan akhir yang baik di balik ketidakinginan kita terhadap suatu hal? Aku hanya akan menanti waktu itu datang. Sampai hari itu tiba, maka aku akan menertawakan Kunto.
“Lo itu orang paling aneh yang pernah gue temuin tau enggak sih?” sahut Kunto setelah tawanya mereda. Dia kembali berdiri pada posisi semula. “Tapi seenggaknya lo udah jadi pelipur lara gue, makasih, ya?”
Ah, lelaki ini mengapa setiap harinya tiada henti memberi kejutan yang tidak diduga-duga? Ketika hari pertama membuatku terkejut karena ternyata dia hantu, di hari kedua kami bertemu dia menampakkan sisi lembutnya ketika dia pulang, dan hari ini dia bersikap bijak dan tahu terima kasih. Besok ada kejutan apa lagi, ya? Kurasa aku tidak akan pernah bosan untuk selalu berada di sisinya. Aku telah belajar banyak darinya dan aku mulai menerima bahwa aku telah menyukainya.
Aku menatap wajah Kunto yang sumringah, mendongak menatap hamparan langit. Entahlah, mengapa wajah manis itu bisa lebih indah dibanding langit? Aku menjawab, “Sama-sama, Kunto. Kamu mau tau enggak dos aku apa?"
Kunto tampak berpiki sejenak lalu balas menatapku. "Apa yang lo doakan?"
Tanpa melepaskan pandangan itu aku menjawab, "Semoga kita dapat pergi dengan tenang dan bahagia."
•••
Duh, cinlok orang ini hihihi...
Baru tau hantu bisa berdoa xixixixixi
Kenapa setiap akhir selalu dibuat gantung kaya gini, kan sebel :(
Baca lanjutannya dong biar tau alasan kenapa dia bisa berdoa wkwkk